Menjelang akhir tahun lalu, Universitas Diponegoro di Semarang, yang dipimpin oleh Rektornya, Prof. Dr. Yos Johan Utama, SH, MHum, menggelar suatu Seminar Nasional tentang masalah Tantangan Pendidikan Tinggi Kesehatan guna menyongsong SDGs yang dimulai sejak akhir bulan September 2015.
Kesepakatan PBB tentang Pembangunan Global yang berkesinambungan (SDGs) ini membawa 17 target menggantikan Pembangunan Abad Millennium dengan 8 target utamanya. Dalam tujuh belas target itu diutamakan agar tiga target utama, pengentasan kemiskinan, penghapusan kelaparan dan mengurangi kesenjangan antar pendukuk makin dipersempit.
Seminar Nasional yang tepat waktu ini dibuka oleh Rektor UNDIP dan diantar oleh Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat UNDIP, Ibu Hanifa M. Denny, SKM, MPH, PhD, Dirjen Sumber Daya Iptek dan Dikti, Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, MSc, PhD, Dirjen Bina Gizi dan KIA, dr. Anung Sugihantono, M.Kes, dan penggerak Posdaya Damandiri, Prof. Dr. Haryono Suyono.
Target Pembangunan dengan sasaran MDGs yang digagas dan ditanda-tangani para pemimpin dunia pada akhir tahun 2000, pelaksanaannya di banyak negara belum menyelesaikan kemiskinan yang melanda jutaan umat manusia di dunia. Banyak negara yang belum berhasil mengatasi masalah yang melilit anak bangsanya.
Bahkan banyak yang bertambah miskin atau bertambah luas jurang pemisah antara keluarga miskin dan keluarga kaya di negaranya. Padahal kesempatan menempuh pendidikan sudah terbuka lebar, tetapi kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan atau kesempatan usaha makin sulit dikembangkan. Kebutuhan keluarga akan pangan dan keperluan lainnya membengkak tetapi persaingan usaha antar bangsa tidak mengecil, bahkan malah makin ganas.
Sementara itu para ahli, dalam berbagai pertemuan dunia memperingatkan bahwa segala usaha pembangunan haruslah memperhatikan kepentingan anak cucu di masa depan. Tidak boleh sembarangan membangun dan menghabiskan semua sumber daya yang ada karena anak cucu berhak mempergunakan sumber daya alam untuk melanjutkan kehidupannya di masa depan. Protes dan pikiran-pikiran untuk menjamin keberlanjutan kehidupan yang lebih baik di masa depan menguasai media dan berbagai pertemuan dunia agar kelanjutan gagasan MDGs di masa depan lebih mengacu pada pedoman pembangunan berkelanjutan.
Selama limabelas tahun terakhir banyak negara salah menterjemahkan target MDGs dan menggagas strategi yang justru memperlebar kesenjangan antar penduduk kaya dan penduduk miksin. Salah satu bidang yang disoroti sangat tajam adalah dalam bidang pencapaian nilai Index Pembangunan manusia (IPM).
Angka index ini diukur dari panjanganya usia harapan hidup (expectation of life) yang biasanya sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tingkat kelahiran dan tingkat kematian penduduk. Ukuran ciri penduduk ini memiliki implikasi bahwa program utama dalam bidang KB dan Kesehatan perlu menjangkau sebanyak mungkin penduduk agar memiliki jumlah anak yang sedikit dan tetap sehat sampai usia yang sangat panjang.
Dalam bidang kesehatan tidak boleh ada penduduk yang meninggal dunia dalam usia anak-anak, balita atau usia muda. Upaya yang dilakukan adalah agar penduduk tidak sakit pada saat sangat muda, muda, dewasa dan bisa menikmati masa tua atau lansia yang relatif lama dan baru meninggal dunia diatas rata-rata usia harapan hidup. Apabila ada yang meninggal dunia pada usia muda atau anak-anak, diperlukan pengganti penduduk lanjut usia yang usianya harus sangat jauh diatas usia rata-rata penduduk secara keseluruhan.
Program KB sangat diperlukan karena bisa mencegah penduduk dewasa, utamanya perempuan, yang mengalami masa subur agar tidak terlalu sering mempunyai anak. Alasannya sangat sederhana, karena angka kematian ibu hamil dan melahirkan di Indonesia masih kira-kira sekitar 50 kali lebih besar dibandingkan angka kematian ibu hamil dan melahirkan di Singapura atau Malaysia.
Sesungguhnya Indonesia masih sangat bisa meningkatkan usia harapan hidup penduduknya dengan mudah asalkan kebijaksanaan dalam bidang kesehatan dan KB itu mendapat perhatian yang tinggi dan benar. Di masa lalu angka kelahiran dapat diturunkan dengan drastis dari sekitar 5,6 anak menjadi 2,3 anak dengan mengajak sebanyak mungkin pasangan usia subur menjadi peserta KB. Pada akhir tahun 2000 angkat kelahiran itu telah menurun menjadi sekitar 2,3 anak dan pasangan subur yang ber-KB mencapai lebih dari separo pasangan yang ada.
Strateginya yang benar adalah bagaimana memelihara kesertaan yang sudah tinggi itu dengan menularkan kesertaan KB kepada generasi subur muda dan dengan kemudahan pelayanan dimana-mana. Para peserta dijadikan agen untuk menyebar luaskan kenikmatan ber-KB dengan mudah dan lancar. Bukan dengan mengajak para peserta biasa untuk ganti cara atau menggunakan kontrasepsi modern semata.
Kemudahan ber-KB dengan cara apapun akan membawa pasangan usia subur yang hamil beresiko dapat ditekan sekecil mungkin dan angka kematian ibu hamil dan melahirkan dapat diturunkan menjadi kurang dari 100 per 100.000 kelahiran. Selama limabelas tahun strategi ini tidak dilakukan tetapi justru ditawarkan kemudahan dan biaya melahirkan gratis di rumah sakit. Akibatnya pasangan usia subur yang mestinya ikut KB dengan lenggang ikut hamil saja toh biaya melahirkan ditanggung pemerintah.
Dalam bidang kesehatan, selama limabelas tahun terakhir ini terdapat kebijakan yang kontra produktif. Dokter dan bidan yang ada di daerah periferi, di pedesaan dan pelayanan keliling dihapuskan dan ada kecenderungan dipusatkan di Rumah Sakit atau tempat pelayanan terpusat dengan berbagai alasan yang benar tetapi tidak selalu tepat. Pelayanan pada tingkat desa atau akar rumput tentu tidak sesempurna pelayanan di rumah sakit yang memiliki tenaga medis yang sangat lengkap sehingga bisa dikatakan tidak pernah terjadi komplikasi.
Tetapi untuk menjangkau pelayanan yang begitu sempurna prakteknya masih sangat sulit. Banyak kasus dewasa ini dengan kemudahan dan fasilitas BPJS pusat pelayanan di lapangan seperti Puskesmas ada kecenderungan dilempar ke atas ke rumah sakit. Keluarga miskin yang sakit harus mondar mandir mencari “keterangan” untuk rujukan. Di rumah sakit, karena keterbatasan ruangan dan obat bisa terjadi keluarga miskin tidak memperoleh pelayanan yang memadai. Atau harus dipulangkan sebelum sembuh dari penyakitnya.
Para pejuang kesehatan preventif yang dimasa lalu banyak bergerak bersama dokter keliling atau bidan di desa tidak lagi mendapat angin baik untuk menyebar ke desa membangun kesadaran masyarakat membangun budaya hidup bersih, hidup sehat, makan bergizi serta mengembangkan kebiasaan pembangunan Kebun Bergizi di halaman rumahnya. Mereka merasa mendapat jaminan kalau sakit akan memperoleh dukungan berobat biarpun kenyataannya tidak selalu mulus. Seminar Nasional yang diselenggarakan FKM UNDIP memberi dukungan bahwa tiba waktunya budaya hidup sehat harus dikembangkan guna mengantar pencapaian target hidup lebih lama dan sehat guna mensukseskan SDGs. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Ketua Yayasan Damandiri, www.haryono.com).