Setelah lebih sepuluh tahun kita kembangkan Posdaya dari satu dua yang digarap oleh para mahasiswa KKN tematik Posdaya di Universitas Jendral Soedirman di Purwokerto, beberapa buah garapan Universitas Tamansiswa di Yogyakarta dan kemudian puluhan lagi pada berbagai perguruan tinggi lainnya, jumlah yang sekarang berkembang menjadi lebih dari 55.000 di seluruh Indonesia, memberi harapan munculnya tenaga pemimpin pembangunan di desa yang berjiwa Pancasila.
Posdaya yang diisi dengan semangat dan upaya kebersamaan gotong royong bertujuan menyegarkan budaya dan semangat gotong royong itu di kalangan masyarakat luas agar di kemudian hari, apabila kita masukkan teknologi dan manajemen modern kepada masyarakat desa tidak membawa hasil yang negatif, tercerai berainya masyarakat yang tergoda individualisme sempit saling tidak peduli sesamanya. Aliran arus kemajuan yang sangat pesat bisa sangat mengganggu dan meningkatkan minat untuk maju berkembang dengan cepat karena menjanjikan munculnya garapan modernisasi dalam tatanan ekonomi yang mengutamakan keuntungan dan kemajuan yang luar biasa tanpa harus mempertahankan tatanan persatuan dan gotong royong antar tetangga dan sanak saudara.
Kalau tanggal 1 Juni 2016 ini ingin kita jadikan momentum untuk membangkitkan kembali Pancasila sebagai dasar kekuatan bersama bangsa, kebutuhan yang luar biasa yang kiranya perlu kita tonjolkan perlu diarahkan pada bagaimana kita semua berlomba-lomba menunjukkan kepada anak-anak muda semangat persatuan dan kesatuan untuk maju bersama dengan mengutamakan keuntungan yang sebesar-besarnya untuk rakyat banyak.
Kita gelorakan semangat membangun kembali peninggalan budaya nenek moyang yang menghilangkan perbedaan antar individu digantikan dengan budaya menempatkan kepentingan bersama sebagai penyegaran budaya baru yang berhasil mengantar para sesepuh bangsa yang berasal dari berbagai latar belakang untuk bersatu dan dengan gencar tanpa rasa takut bersama-sama memekikkan seruan merdeka! Nenek moyang yang tahu sekali bahaya yang mengancam tidak bergeming menghadapi bedil dan pisau bayonet yang ada di depannya, maju terus dan menggeser tentara dan polisi kolonial. Sungguh suatu kenangan yang perlu kita wujudkan dalam semangat dan tindakan nyata lebih heroik dan modern, utamanya perlu ditunjukkan kepada anak muda di desa oleh para pemimpin pembangunan.
Di daerah-daerah, utamanya di desa, yang gerakan penyegaran persatuan dan kesatuan melalui Posdaya sudah berkembang maju, yang semangat gotong royong telah mewujud makin nyata, mulai muncul individu-individu, ada yang kaya dan ada yang miskin, dengan semangat tinggi mau berkorban, menyisihkan tenaga dan waktu berjuang dengan menempatkan rekan-rekannya melalui pemberdayaan menjadi pemeran utama dalam pembangunan untuk kepentingan orang banyak, seperti digagas Ki Hajar Dewantara, menempatkan dirinya berdiri di tengah atau bahkan tut wuri handayani di belakang layar, memberikan dukungan yang ikhlas dan dinamis.
Pemimpin seperti itu mulai mendapat kepercayaan rakyat banyaki. Tetapi kondisi seperti ini harus ditanggapi secara hati-hati, kejadian yang terjadi belum tentu bisa diterima secara massal atau dianggap umum. Banyak bukti yang ternyata meleset karena yang kelihatannya sudah matang mendadak begitu modal ekonomi finansial dikucurkan untuk mendukung percepatan pembangunan, modal budaya yang mulai berkembang kembali itu langsung berubah dan luntur tersapu habis oleh keinginan memetik untung lebih dahulu atas aliran modal finansial yang muncul itu untuk dirinya sendiri.
Memang sukar memilah. Yang kelihatan sepintas indah di permukaan tidak selalu indah di dalam dada dan hati seseorang. Menjadi pertanyaan besar bagaimana mengurangi kendala yang muncul dan mengganggu itu guna menempatkan tanggal 1 Juni ini sebagai momentum yang penuh arti. Pada awalnya, seperti pada jaman nenek moyang dulu, kita harus berani menempatkan perorangan sebagai figur penanggung jawab gerakan kembali kepada Pancasila agar bila gagal, upaya kebersamaan tidak langsung upaya kebersamaan tidak berhasil dan tidak bisa diberi kesempatan berkembang.
Perorangan dengan jiwa kebersamaan itu harus diberi kesempatan menjadi figur yang seakan mewakili masyarakat banyak dan bergabung menjadi satu kesatuan, seakan banyak dalam satu, yaitu seseorang yang sanggup dalam dirinya membawa semangat dan jiwa kebersamaan rekan-rekan di sekitarnya menjadi satu kesatuan yang dipimpinnya dalam suatu kepemimpinan yang memberi kesempatan kepada banyak rekan-rekannya mengambil peran positif yang bertanggung jawab.
Peranan individu yang berlaku sebagai “penggerak kebersamaan” ini memang berat. Biarpun niatnya untuk kebersamaan, tidak mustahil seseorang itu akan tetap dilihat atau dituduh sebagai pemeran individu yang ingin melakukan hal-hal yang sama seperti biasa. Seseorang seperti itu tetap akan dicurigai sebagai pemeran individu yang bertindak sebagai perorangan yang ingin menguasai banyak hal dan kegiatan seperti halnya model lama, dalam bidang ekonomi biasa disebut sebagai ekonom kapitalis, dalam bidang organisasi seakan sebagai pimpinan yang mau menjadi pimpinan seumur hidup.
Seseorang yang menempatkan kepentingan pribadi yang menonjol diatas segalanya. Seseorang atau pimpinan seperti ini sukar dipercaya sebagai tokoh yang sesungguhnya menjadi simbol atau wakil kebersamaan yang dikehendaki oleh semangat persatuan dan kesatuan yang berjiwa Pancasila itu.
Karena itu diwajibkan agar seseorang yang berjiwa seperti itu dalam waktu singkat membangun sumber daya manusia yang tangguh dan sanggup untuk setapak demi setapak menerima tugas dalam kebersamaan. Tambahan SDM menunjukkan semangat kebersamaan gotong royong yang dibawakan oleh pimpinan yang semula seakan bertindak secara individualis. Akhirnya akan kelihaan bahwa kepemimpinannya terbukti sungguh-sungguh sebagai kepemimpinan gotong royong yang semangat dan jiwanya diajarkan dalam Pancasila.
Pemimpin seperti itu bisa berasal dari seseorang yang sudah mapan dan berkenan menjadi pemimpin pembangunan ekonomi di pedesaan atau menjadi pelopor gerakan yang menyediakan kebutuhan pokok sehari-hari dengan kualitas tinggi dan harga terjangkau. Pemimpin seperti itu bisa berasal dari pengusaha yang mengorbankan dananya untuk usaha dengan mengambil keuntungan kecil tetapi membangun jaringan kios-kios sederhana milik penduduk biasa yang diusahakan untuk di kelola dengan modal yang biaya pinjamannya murah, dijamin oleh pengusaha intinya dan di pasok barang secara teratur agar jaringannya mendapat kepercayaan dari langganan tetangga sekitarnya.
Pemimpin seperti itu bukan harus dianggap sebagai pengusaha yang mau untung sendiri, tetapi sesungguhnya penggerak ekonomi kerakyatan yang luar biasa. Contoh sederhananya adalah Gerakan Rumah Pangan Kita (RPK) Sahara Posdaya yang menyediakan sembako kualitas tinggi dan harga terjangkau dipelopori oleh Ir Sharmila dan Prof. Dr. Haryono dari Yayasan Caraka Jakarta yang di desa dikelola oleh para pensiunan dan ibu-ibu kelompok menengah dengan modal sendiri atau modal yang mereka pinjam dari Bank dengan agunan yang mereka tanggung pribadi.
Selanjutnya rakyat biasa, para ibu-ibu anggota Posdaya atau masyarakat desa, utamanya yang mau bekerja dengan sungguh-sungguh menolong tetangganya dengan pelayanan prima, diundang dan diberi kesempatan menjadi penyalur melalui Kios atau Warung kecil di rumah masing-masing. Sesungguhnya mereka pahlawan Pancasila yang mau bekerja keras untuk kepentingan bersama dengan baik. Mereka bersedia menjual sembako dengan harga eceran yang telah ditetapkan dan tidak mencekak leher sungguh merupakan seseorang yang tidak ingin memperoleh keuntungan berlebihan tetapi mau menolong tetangganya mendapatkan bahan makanan yang bermutu dan harga terjangkau.
Apabila kita berhasil menghadirkan makin banyak pemimpin seperti itu, yang sanggup menjadi pemimpin teladan seperti para sesepuh bangsa kita di masa lalu, mengorbankan dirinya dengan risiko tinggi pada situasi yang menantang dan menjadi teladan untuk menggotong para calon pemimpin lainnya di tingkat akar rumput, menjadi penggerak kepemimpinan atas dasar falsafah Pancasila dalam segala segi kehidupan bangsa yang sederhana sekalipun, pada akhirnya negara kita akan memiliki suatu tatanan kepemimpinan nasional dengan jiwa dan semangat Pancasila yang menempatkan orang banyak sebagai pemeran untuk kepentingan masyarakat yang luas dan sejahtera. (Prof. Dr. Haryono Suyono, mantan Menko Kesra dan Taskin RI).