LAHIRNYA Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang kekerasan seksual terhadap anak bukan saja menjadi buah bibir tetapi telah menjadi pro dan kontra di masyarakat. Pandangan pro kontra tak dapat dihindarkan lagi. Bagi sebagian kalangan pegiat hak asasi manusia (HAM), penghukuman terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak (pedofil) jelas melanggar hak asasi.
Apalagi hukuman kebiri, tak ada dalam sistem penghukuman pemidanaan dalam KUHP. Terakhir sikap penolakan dilakukan oleh organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) karena eksekusi terhadap pelaku nantinya akan bertentangan dengan sumpah dokter. Dilihat dari keluarnya Perpu No 1/2016 Pemerintah ingin ada ketegasan dalam pemberian hukuman karena tidak saja hukuman pemberatan, tetapi kejahatan ini dinilai sebagai kejahatan lur biasa (extraordinary crime).
Pasalnya, korban pedofil acapkali terjadi sangat mengenaskan. Bahkan korban tak saja ‘dieksekusi’ di tempat sepi, namun di sekolah. Misalnya,kita lihat kasus yang sempat mendapat perhatian masyarakat, Jakarta Internasional School (JIS) beberapa bulan lalu.Kasus pedofilia terakhir melibatkan seorang anak perempuan berusia 9 tahun yang ditemukan sudah meninggal di dalam kardus.Setidaknya, dengan hukuman berbeda dengan penambahan hukuman dapat menimbulkan efek jera.
Kemudian dari laporan kepolisian yang kita baca di media ditemukan bukti bukti pemerkosaan sebelum terjadi pembunuhan.Sehingga kita melihat kejahatan ini sudah menjadi kejahatan luar biasa yang meresahkan mayarakat. Untuk mencegah maraknya aksi kekerasan, saya setuju pemerintah Jokowi mengambil langkah mengeluarkan perpu kekerasan seksual.
Karena kejahatan ini dipandang kejahatan luar biasa maka penanganan harus dilakukan luar biasa’.Sebab,dilihat di dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, hukuman maksimal bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur adalah 15 tahun penjara dan denda sekitar Rp 60.000.000 – Rp. 300.000.000.
Munculnya hukuman tambahan kebiri dalam arti ‘dikebiri bukan diputus hasrat seksual tetapi dikontrol sehingga tidak melakukan tindakan seksual’.Memang perlu dilakukan pengkajian secara mendalam. Bisa saja IDI berpendapat sistem pemidanaan itu tidak tepat di eksekusi oleh dokter karena bertentangan dengan sumpah jabatan, sehingga bentuk hukuman itu perlu dibicarakan kembali.Karena bisa saja penerapanp pasal kekerasan seksual terhadap anak akan berdampak psikologis dalam pertumbuhan dan merusak masa depan anak. Terlebih, korban pelaku pedofil berpotensi menjadi pelaku ketika beranjak dewasa.
Dari dialog diatas saya kira apapun hukuman dikebiri atau bentuk lain seperti diusulkan IDI perlu disempurnakan, tetapi pelaku kekerasan terhadap anak haruslah dihukum seberat beratnya.Langkah IDI bisa saja diterima, sama seperti eksekusi hukuman mati.”Jika dikaji lebih jauh adalah pelanggaran HAM”, tetapi hukuman tersebut masih tetap menjadi hukum positif berlaku di negeri ini.
Hukuman kebiri bisa memberikan efek jera kepada predator, jika perlu hukuman ditambah dengan diterapkan sanksi sosial misalnya dengan menyebarluaskan serta menempel foto-foto pelaku di tempat-tempat umum. Hukuman tambahan itu juga dapat memberikan efek jera para predator anak.
Sebelum masuk dan menjadi Undang undang, saya kira Perppu tentang kekerasan Jokowi menjadi effekif sebagai langkah terdepan disaat ini guna menangkal berulangnya kembali aksi kekerasan yang terus menerus membahayakan jiwa anak negeri ini. **