SEDIKITNYA ada tiga musuh negara saat ini selain korupsi dan narkoba, adalah terorisme. Karena itu kedepan negeri ini masih dihadapkan dengan bahaya terorisme yang masih marak. Penyebaran paham radikalisme apalagi kelompok radikal, kelompok teroris yang kini memiliki kemampuan untuk melakukan propoganda, pengumpulan pendanaan informasi, perekrutan serta penghasutan dengan menggunakan media internet dan jejaring media elektronik, sehingga terorisme tidak pernah surut terjadi.
Terbunuhnya terorisme Santoso dan beberapa pengikutnya di Poso, beberapa pekan lalu, belum akan menjamin menghentikan aksi terorisme. Bahkan bisa memunculkan simpati diam-diam dari kalangan teroris, dan bangkitnya mitos kesyahidan baru di kalangan mereka.
Kewaspadaan terhadap kemungkinan terulang aksi terorisme juga penyerangan kepada anggota kepolisian bisa juga terjadi kalau kita tidak waspada. Serangan terorisme banyak macamnya, ada yang menyerang langsung anggota polisi yang sedang tugas di lapangan hingga pada pengancaman dengan senjata api, bom maupun senjata tajam serta racun sianida.
Tindakan terorisme sudah tergolong sangat tinggi, apalagi jika dilihat dari berbagai kejahatan mereka yang terungkap,aksi mereka menimbulkan keresahan. Bahkan faham radikalisme malah menjadi berkembang.
Penanganan gerakan radikal yang kerap berujung pada terorisme harus melibatkan semua kekuatan negara, masyarakat serta elemen di dalamnya seperti pesantren, tetapi selama ini pesantren tidak pernah dilibatkan secara langsung.
Dalam konteks deradikalisasi sebenarnya, pemerintah bisa melakukan langkah untuk memutus reproduksi terorisme secara berlanjut. Jangan hanya melihat kejahatan terorisme sebagai kejahatan biasa atau gangguan keamanan atau pelanggaran hukum yang harus ditindak melalui pendekatan keamanan saja.
Masalah Kamtibmas yang cukup berat bukan saja soal terorisme semata kini harus dijawab oleh seluruh penegak hukum dan kita selaku masyarakat.Karena setelah memasuki era globalisasi SDGs (Sustainable Development Goals ) dan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), ancamanan kejahatan transaksional antara negara semakin terbuka lebar. Aksi terorisme akan semakin mengglobal seiring terbukanya negara.
Apalagi kita sering melihat langkah pembinaan terhadap pelaku terorisme yang sudah di penjarapun ternyata tidak menyadarkan mereka dari paham radikal, sehingga sering kita lihat selepas menjalani hukuman teroris itu bukan sadar dan sulit bergaul bersama masyarakat sekitarnya, sehingga malah kembali lagi mengulangi perbuatannya.
Karena narapidana teroris selama ini kurang diberikan pendampingan,seperti pendampimgan advokasi, sosial ekonomi, supaya mereka tidak kesulitan memulai hidup setelah dibebaskan.
Untuk menghalau perumitan serangan teroris selayaknya mungkin pemerintah melibatkan juga masyarakat sipil, karena antisipasi akan menjadi keniscayaan jika pembinaan dengan program pemberdayaan sosial ekonomi tidak memutus reproduksi terorisme, kalau hanya dilakukan sepotong potong tidak masuk kedalam akar persoalan yang mendasar terhadap paham radikalisme. Di lain pihak revisi UU Terorisme harusnya mengacu kepada tugas pokok lembaga yang menangani termasuk di dalamnya Polri, TNI dan Kejaksaan, Kemenag, Kemendikbud serta Kemensos dan lain-lainnya.
Dari dialog di atas saya pikir, dari berbagai kejadian penangkapan dan terbunuhnya teroris seperti Azhari, Nurdin M Top, Maman Abdurahman serta Iman Samudera dan Santoso di mana mata rantai idiologi teroris tidak pernah terputus sebenarnya. Walau operasi demi operasi dilakukan untuk menangkap dan mengadili mereka tetapi tetap saja ideologi terorisme berkembang dan melahirkan pengantin pengantin baru yang melakukan aksi bunuh diri.*