JAKARTA-(TERBIT TOP.COM)-Modus operandi para koruptor semakin bervariasi saja. Terbukti, kasus percobaan suap PT Brantas Abipraya (Persero), uang suapnya ditarik dari kas milik negara. Jaksa KPK mengungkapkan perbuatan para terdakwa dalam dakwaannya. Karenanya terdakwa-terdakwa tersebut pantas dihukum maksimal.Terkait perkara ini, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, mulai menyidangkan perkara percobaan suap senilai Rp 2,5 miliar yang dilakukan petinggi PT Brantas Abipraya (Persero),sejak Rabu (22/6).
Jaksa Penuntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang terdiri dari Irene Putri, Moch Wiraksajaya, Wawan Gunawanto dan lima jaksa lainnya, mengajukan kasus ini dalam dua berkas perkara.
Hanya saja, majelis hakim yang menyidangkan perkara ini satu, diketuai hakim Johannes Priyana dengan empat hakim anggota yang sama
Menariknya perkara ini percobaan penyuapan itu dilakukan para terdakwa terhadap Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Sudung Situmorang dan Asisten Tindak Pidana Khusus pada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Tomo Sitepu.
Ketika para terdakwa ditangkap KPK, pada 31 Maret 2016, kasus ini sempat menjadi pembicaraan hangat di masyarakat karena diduga pejabat Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta memang menerima suap. Tapi dugaan tersebut ternyata tidak terbukti.
Dalam surat dakwaan JPU KPK, disebut terdakwa, Marudut diajukan dalam perkara dengan terdakwa tunggal, dan pada berkas lain dua orang petinggi PT Brantas Abipraya/PT BA (Persero), masing masing, Direktur Keuangan dan Human Capital PT Brantas Capital, Sudi Wantoko (48), serta Senior Manager Pemasaran PT Brantas Abipraya, Bandung Pamularno (47).
Jaksa KPK, mendakwa ketiga orang tersebut mencoba melakukan penyuapan atau telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu yaitu menjanjikan akan memberi yang sebesar Rp 2,5 miliar atau setara dengan 186.035,00 dolar AS kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yaitu kepada Sudung Situmorang dan Tomo Sitepu.
Perbuatan para terdakwa tersebut, dilakukan dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya yaitu menghentikan penyelidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi yaitu penyimpangan penggunaan keuangan PT BA yang dilakukan Sudi Wantoko.
Masih menurut JPU KPK, bahwa, pada 15 Maret 2016, Sebagai Kajati DKI Jakarta, menerbitkan Surat Perintah Penyidikan Nomor : PRIN-357/0.1/FD.1/03/2016 guna melakukan penyidikan dugaan terjadinya tindak pidana korupsi penyimpangan pengunaan keuangan perusahaan yang dilakukan oleh Sudi Wantoko yang merugikan negara sebesar Rp 7.028.400.724.00.
Terkait surat tersebut, Aspidsus Tomo Sitepu memanggil beberapa staf PT BA yaitu Tumpang Muhammad, Joko Widyantoro, Suhartono dan La lita Pasar, untuk dimintai keterangan atas dugaan tindak pidana korupsi pada perusahaan tersebut.
Lalu sekitar 21 Maret 2016, Sudi Wantoko, menerima laporan dari Joko Widiyantoro, Lalita Pawar dan Tumpang Muhammad tentang surat panggilan dari Kejati DKI yang mencantumkan nama Sudi Wantoko sebagai orang yang melakukan tindak pidana korupsi.
Sudi Wantoko lalu meminta Bandung Pamulang untuk ikut membantu dalam menghentikan penyidikan kasus tersebut. Hingga Pamularno menghubungi terdakwa Marudut. Dan mereka melakukan pertemuan di Pondok Indah Golf keesokan harinya, membicarakan pemanggilan staf PT BA oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Marudut diminta terdakwa dua menghubungi Sudung Situmorang, karena Marudut memang bersahabat dengan Sudung.
Terdakwa Marudut kemudian membicarakan permintaan terdakwa Sudi dengan Sudung di ruang kerja Kajati DKI itu, supaya penyidikan kasus PT BA dihentikan, tapi Sudung menyuruh Marudut membicarakan kasusnya dengan Tomo Sitepu.
Singkat cerita, pembicaraan Marudut dengan Tomo Sitepu, penyidikan perkara diturunkan dari penyidikan ke penyelidikan dengan imbalan uang.
Hasil pembicaraan Marudut dengan Tomo tersebut dilaporkan terdakwa II ke terdakwa I. Selanjutnya, terdakwa II meminta uang Rp 2,5 miliar kepada terdakwa I untuk diberikan kepada Sudung dan Tomo.
Terdakwa Sudi ahirnya memerintahkan terdakwa II untuk mengambil uang dari kas PT BA, melalui Joko Widiyantoro. Selanjutnya, pada 24 Maret 2016, terdakwa II menemui Marudut di lantai 5 Hotel Best Western Primier The Give Jakarta Timur, dan melaporkan kepada Marudut bahwa disetujui memberikan yang Rp 2,5 miliar kepada Sudung dan Tomo, agar Kejaksaan menghentikan penyidikan.
Sekitar 28 atau 30 Maret 2016, Joko Widiyantoro mengambil uang dari kas PT BA sejumlah Rp 2,5 miliar, dengan cara mengeluarkan voucher pengeluaran kas PT BA, sejumlah Rp 5 miliar untuk membiayai proyek Wisma Atlet C3 di Kemayoran, Wisma Atlet C1 di Kemayoran dan proyek rumah susun Sulawesi 3 di Makassar. Sehingga seolah olah pengeluaran uang tersebut untuk membiayai proyek. Padahal sejumlah Rp 2,5 miliar ditarik kembali dan ditukarkan dalam pecahan dolar AS, untuk diberikan kepada Sudung dan Tomo.
Oleh terdakwa dua, Uang diberikan kepada Marudut senilai Rp 2 miliar. Sisanya Rp 500 juta disimpan di laci meja kerjanya untuk biaya main golf dan biaya makan dengan Sudung.
Uang senilai Rp 2 miliar itu kemuduan dibungkus plastik hitam, diserahkan kepada Marudut di toilet priya lantai 5 Hotel Best Western The Hive Jakarta Timur, untuk disampaikan kepada Sudung dan Topi di kantor Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Namun dalam perjalanan menuju kantor Kejaksaan Tinggi DKI, yang terletak di Jl Rasuna Said itu, Marudut ditangkap petugas KPK dan menyita uang Rp 2 miliar tersebut.
Perbuatan para terdakwa diancam pidana dalam Pasal 5 ayat (1), huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.Sidang selanjutnya, sepekan mendatang, mendengar eksepsi tim penasihat hukum dan terdakwa.(Dolat Munthe).