JAKARTA-(TERBIT TOP.COM)- Gugatan baru akan didaftarkan lagi terhadap Gubernur DKI Jakarta dan jajarannya, terkait pembangunan MRT (Mass Rapid Trans), Lebak Bulus sampai Bundaran Hotel Indonesia, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Demikian dikemukakan pengacara senior Hartono Tanuwidjaja, SH, MSi, dalam wawancara dengan Terbit Top, pekan lalu, terkait perkembangan perkara gugatan perbuatan melawan hukum (PMH), sejumlah kliennya terhadap Gubernur DKI, karena hingga kini para Tergugat, belum membayar tanah para Penggugat yang terkena jalur proyek MRT
Pada gugatan pertama yang tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, para Penggugat terdiri dari: H Muchtar Bin Mugen, Heriyanto Theng, Ny Rasmee Mahesh Lalmalani, Ny Wienarsih Waloeyo, Ir Sigit Buntoro dan Dheeraj Mohan Aswain, mengajukan gugatan terhadap jajaran Pemda DKI Jakarta senilai Rp 415 Miliar melalui, pengacara Hartono Tanuwidjaja, pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sedang latar belakang gugatan terjadi, karena para Tergugat mencaplok tanah para Penggugat terkait pembangunan MRT di sekitar Jl Fatmawati Jayakarta Selatan.
Sejauh ini menurut Hartono Tanuwidjaja, sidang menjadi tidak lancar karena kuasa Tergugat mengajukan eksepsi kompetensi. Karena itu hakim ketua majelis Kris Nugroho SH, MH, meminta para Tergugat membuktikan dalil-dalil eksepsinya. “Akibatnya, kami belum kebagian membuktikan gugatan karena Tergugat Cs, harus buktikan dulu eksepsi Kompetensinya,” kata Hartono.
Adapun Tergugat Tergugat perkara ini, Gubernur DKI Jakarta, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi DKI Jakarta, Kepala Dinas Perhubungangan Provinsi DKI Jakarta, Walikota Jakarta Selatan, Panitia Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Kota Administratif Jakarta Selatan, Camat Kemayoran Baru, Camat Kecamatan Cilandak, Lurah Kelurahan Bandara Selatan, Lurah Kelurahan Pulo dan Lurah Kelurahan Cipete Selatan (Tergugat I-Tergugat X.)
Selagi proses persidangan, perkara pertama, kuasa hukum Penggugat, Hartono Tanuwidjaja dan kawan kawan mendapat dokumen penting. “Para Tergugat mengajukan laporan Aprieser, dan setelah kami dapat copy dokumennnya kami putuskan akan gugat itu untuk pembatalan atas hasil-hasil tersebut,” jelas Hartono.
Ada dua alasan, menurutnya mengapa harus mengajukan perkara PMH kedua terhadap para Tergugat yang sama, yaitu, pertama hasil apreiser itu baru draf. Kedua, tujuannya adalah dibuat penilaian asset itu untuk menjadi dasar musyawarah pembebasan tanah. “Kalau dasar musyawarah itu bukan berarti dia (para Tergugat), harus menentukan harga secara global pada wilayah Jakarta Barat, Utara, Timur, Selatan. Tapi harus musyawarah bukan penilaian global.”
Sementara dalam Undang undang, disebutkan pembebasan tanah itu bidang perbidang bukan global begitu.
Dalam perkara ini tiba tiba ada undangan kemudian ada putusan penetapan harga tanah. Mengacu Pasal 27 UU No.12 Tahun 2012, tercantum Pasal 2:2, permasalahan tanah mengacu pada inventarisasi, pemberian ganti rugi, musyawarah.
“Ini musyawarah kapan? Tidak ada musyawarah harga tanah diputuskan dan dilampirkan hasil musyawarah yang nota bene tanpa ada satupun tanda tangan para Penggugat. Mana mungkin ada keputusan musyawarah tanpa tandatangan pemilik tanah,” tegas Hartono.
Dalam perkara ini menurut Hartono, banyak keanehannya. Kok bisa menentukan harga tanah sepihak. Jadi kita gugat aja soal draf penilaian harga, tambahnya.
Penilaian atau putusan para Tergugat yang menetapkan harga ganti rugi atas tanah para Penggugat senilai Rp 26 juta/meter, ditolak mentah-mentah oleh para Penggugat dan kuasa hukumnya.
Besar ganti rugi yang layak menurut Hartono dan para kliennya Rp 150.000.000/meter ditambah kerugian immateriil karena kehilangan hak usaha akibat proyek MRT.Total keseluruhannya ganti rugi diajukan senilai Rp 415 miliar.(Dolat Munthe)