Tidak banyak orang atau pimpinan yang selalu memberikan semangat kepada bawahannya, agar bawahan atau stafnya bisa maju dan berkembang serta memiliki wawasan yang luas. Banyak pemimpin hebat, tetapi hebat hanya untuk dirinya sendiri. Untuk menjadi atasan yang hebat, biasanya atasan itu bisa menjadi teman, guru, pembimbing dan sekaligus sebagai inspirator. Atasan bisa membuat kita membentuk karakter dan cara-cara yang tidak pernah dibayangkan, dan kadang-kadang bisa merubah hidup kita. Hanya yang menjadi perbedaan yang sangat menyolok adalah atasan yang buruk yang nyaris dapat membunuh kita.
Membunuh bukan berarti secara harfiah, tetapi atasan yang buruk bisa membunuh sebagian jiwa yang menjadi sumber energi positif, komitmen dan harapan kita, bahkan dalam keadaan sehari-hari mereka bisa membuat kita marah, terluka, sakit hati dan bisa juga membuat sakit secara fisik. Sebagai bawahan kadang-kadang kita dihadapkan pada kondisi dimana atasan setiap periode tertentu berubah atau berganti dengan orang baru yang belum diketahui karekter dan kebiasaannya.
Dengan adanya perubahan atasan, bisa juga merupakan kesempatan emas bagi orang-orang tertentu untuk maju dan menunjukan kemampuan yang dimiliki, apalagi ada kesamaan keinginan dan harapan. Namun bagi sebagian bawahan yang tidak sepaham dengan pemikirannya, akan timbul suatu konflik sosial dan membuat situasi dan kondisi kerja tidak nyaman. Bagi mereka yang secara konsisten memperjuangkan program yang selama ini dijalankan dengan baik, dengan munculnya pemimpin baru yang tidak sepaham, maka tidak sedikit dari mereka akan menyerah atau keluar dari organisasi.
Menurut Jack Welch, dalam bukunya yang sangat terkenal berjudul Winning (Meraih Keberhasilan) mengatakan, bahwa atasan yang buruk dapat mempunyai segala macam bentuk. Beberapa merebut semua prestasi, beberapa tidak kompeten, beberapa menjilat ke atas dan menginjak ke bawah, yang lain suka menggertak dan mempermalukan orang lain, mempunyai suasana hati yang suka berubah, menahan pujian dan uang, melanggar janji, atau mempunyai favorit, dalam arti suka dan tidak suka dengan seseorang.
Kadang-kadang mereka cenderung bertahan lebih lama dalam beberapa organisasi atau perusahaan, bisa saja mereka sangat berbakat dan berhasil mencapai target atau mereka sangat kreatif. Biasanya mereka memiliki aliansi politik yang cerdik, atau bahkan ada orang-orang besar dan memiliki pengaruh yang luar biasa yang berdiri di belakangnya.
Sebagai bawahan yang menanggap tidak terlalu cocok dengan atasan yang baru yang dianggap buruk atau kurang sesuai dengan harapan, tidaklah perlu untuk tetap bertahan dan sebaiknya mencari alternatif lain. Namun yang perlu diperhatikan adalah keputusan apapun termasuk mengundurkan diri tidak harus dibarengi dengan perasaan sebagai korban. Dalam situasi apapun memandang diri sendiri sebagai korban benar-benar mengalahkan diri sendiri.
Kalau itu menyangkut masalah karier, maka itu merupakan sikap yang membunuh semua pilihan kita, bahkan bisa juga sebagai awal dari spiral kematian kita. Hal ini bisa diibaratkan, kita hidup dalam budaya dimana kebanyakan orang menyalahkan restoran siap saji yang akhir-akhir ini sudah mulai menjamur, yang membuat anak-anak mereka menjadi gemuk dan tidak sehat, demikian juga dengan pemerintah yang menghabiskan banyak anggaran untuk hal-hal yang tidak tepat sasaran.
Memang harus diakui, biasanya muncul adanya perasaan yang tidak menyenangkan bila mana atasan tidak berada pada pihak kita. Salah satu jalan adalah menghindar atau sesedikit mungkin berada di kantor dimana kita bekerja atau pun menghabiskan waktu di luar bersama orang lain yang disukainya yang bisa membuat hati lebih tenang, meskipun imbalannya jauh berkurang.
Adanya peristiwa yang muncul yang patut disayangkan, atau tidak adil yang kadang-kadang menimpa dalam hidup kita, bekerja di bawah atasan yang sulit adalah masalah kita dan kita sendiri yang harus menyelesaikan. Untuk melakukan itu dan mencari jalan keluar yang terbaik adalah menerima, memperbaiki atau mengakhiri tugas yang diberikan, meskipun semuanya terasa menyakitkan hati.
Kita akan mengalami kesulitan, karena sifat orang satu dengan yang lain berbeda-beda, dengan sendirinya atasan pun juga memiliki sifat dan karakter yang berdeda pula. Atasan bisa juga berindak seenaknya atau terlihat buruk, karena memang sifatnya seperti itu. Namun yang perlu diingat, mungkin saja dia orangnya baik dengan pelanggan dan cukup logis dengan atasannya sendiri ataupun rekan-rekan sekerjanya, tetapi mereka memperlakukan setiap bawahannya dengan perlakukan yang buruk, bahkan sering mengintimidasi, senang bertengkar, membentak-bentak, arogan dan suka mengabaikan hal-hal yang sebenarnya penting.
Masih menurut Jach Welch, pada umumnya atasan tidak bertindak tidak menyenangkan pada orang-orang yang disukai, dihormati dan diperlukan, jadi kita sebaiknya merenung, apakah kita sungguh-sungguh telah memiliki prestasi ? Bila atasan kita bersifat negatif terhadap kita, sudah dapat dipastikan bahwa mereka mempunyai versi sendiri terhadap suatu peristiwa, dan versinya menyangkut sikap atau prestasi kita.
Apabila kita dihadapkan pada kenyataan, yaitu situasi dimana atasan yang dianggap buruk itu dan tidak akan berubah dalam waktu yang relatif pendek, maka sebaiknya kita perlu untuk berkompromi dan bertanya kepada atasan, apakah pengorbanan selama ini dianggap cukup atau sebaliknya. Bila jawabannya ternyata tidak, maka kita perlu memulai dengan menyusun rencana untuk keluar dan membuat cara keluar dengan kerugian yang sedikit mungkin.
Namun bila jawaban sebaliknya, dan atasan menawarkan semacam manfaat panjang yang bisa kita terima dan pahami, maka kita benar-benar tidak mempunyai pilihan. Kini saatnya untuk berfokus pada alasan mengapa kita tetap bertahan dan bekerja, dan menempatkan atasan kita dalam perspektif buruk. Yang perlu dicermati adalah, dia bukan segala-galanya dalam hidup kita, dia hanyalah aspek negatif dari persetujuan karier atau hidup yang kita buat dengan diri kita sendiri.
Disadari atau tidak, bahwa fakta kita bekerja dengan atasan yang buruk menurut pilihan kita, itu berarti kita kehilangan hak untuk mengeluh dan kita tidak dapat lagi menganggap diri kita sebagai korban. Karena itu merupakan pilihan, maka kita mau tidak mau harus menanggung konsekuensinya. (Penulis Dr Mulyono D Prawiro adalah Dosen Pascasarjana dan Anggota Senat Universitas Satyagama dan Universitas Trilogi, Jakarta)