Acara Serasehan Forum Wartawan Kejaksaan Agung (Forwaka) yang berlangsung di Hotel Aston Cirebon selama dua hari 29-30 Oktober 2016 menjadi momentum awal secara profesional pers dan Jaksa diharapkan mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara profesional.Tidak saja di dalam kontek pemberitaan dan informasi kepada publik tetapi ikut andil di dalam proses pembangunan hukum di negeri ini. Peran pers sebagaimana ditegaskan Jaksa Agung Muda Intelijen (JAM Intel) Dr Adi Toegarisman SH MH memiliki kemampuan yang dapat mengubah dan berperan aktif dalam rivitalisasi hukum di era sekarang ini.
Harapan besar Jam Intel kepada Wartawan Forwaka untuk berperan aktif tidaklah berlebihin jika disimak lebih jauh karena sebenarnya pers dan jaksa pun sesungguhnya, memiliki misi yang hampir sama khususnya para awak media yang tergabung dalam FORWAKA yakni sama-sama berupaya penegakkan hukum berjalan sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Sebagaimana kita ketahui dalam proses penegakan hukum banyak pihak mempunyai peran baik pemerintah (aparatur penegak hukum, polisi jaksa, hakim, pengacara) juga fungsi media massa dalam hal ini wartawan merupakan fungsi pemberi informasi yang dapat mendorong proses penegakan hukum berjalan sesuai dengan akuntabilitas yang ada. Pers bisa mendorong masyarakat ikut memberantas korupsi,mengajak jaksa,polisi hakim dan pengacara untuk menegakan hukum secara konsisten. Untuk itulah pers dan jaksa haruslah berkerja secara profesional.Dan itu haruslah diiringi rasa tanggung jawab pada perannya masing-masing dalam melaksanakan tugasnya.
Sebagai mitra untuk mencari kebenaran dengan cara memberikan bukti dan argumen untuk landasan dalam mengawasi pemerintahan dan menentukan sikap. Sehingga pers sendiri memiliki tujuan untuk menemukan kebenaran, memberi informasi, menafsirkan, dan menghibur masyarakat. Di Negara demokrasi seperti Indonesia, pers merupakan pilar keempat demokrasi yang juga mengawasi penegakan hukum di Indonesia serta penegakan HAM.
Bahkan cara pandang media massa dalam melihat isu korupsi memainkan peranan yang penting pemberantasan korupsi di Indonesia.Kerja kreatif pers melalui peliputan investigasi merupakan salah satu daya dorong bagi terjadi akselerasi penanganan kasus kasus sekaligus membantu penegak hukum mengungkapkan kasus korupsi yang selama ini tidak terlihat di permukaan. Artinya peran media memiliki peranan kunci untuk mengungkapkan adanya penyalahgunaan atau korupsi. Seperti contoh dalam kasus Panama Papers yang muncul dari kalangan media.
Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab social, keberagaman masyarakat dan norma-norma agama. Karena itu pers dituntut untuk profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
Dukungan
Forum Wartawan Kejaksaan (FORWAKA) adalah wadah berkumpulnya para wartawan dari segala media cetak,onlene dan televisi termasuk radio.Sebelum reformasi namanya Koordinator Wartawan Kejaksaan. Ketika reformasi berjalan jumlah wartawan mulai membanjiri berbagai tempat peliputan termasuk di Kejaksaan Agung wadah berhimpunnya pewarta itu diganti menjadi Forwaka.
Kemudian seiring berkembangnya waktu Forwaka terus berbenah diri yang selama ini hanya setahun masa kepengurusan kini diubah menjadi dua tahun.Bahkan pada Sarasehan yang berlangsung di Aston Cirebon itulah, adalah titik awal Forwaka mengubah diri dengan memiliki AD/ART internal. Sebagai sebuah Forum berkumpul, Forwaka sudah memiliki dukungan daya saing yang kuat dalam memberikan arah penegakan hukum yang dilakukan jajaran kejaksaan RI.
Momemtum perubahan masa bhakti kepenguruan Forwaka diiringi dengan pembentukan dan pengesahan AD/ART bukanlah untuk menandingi organisasi seperti, PWI,AJI serta Organisasi wartawan lainnya dan juga Dewan Pers. Tetapi keberadaan hanyalah sebagai forum kumpulan wartawan yang tugasnya dilingkugan Kejaksaan. Tak lebih seperti Forum wartawan yang ada di Kepolisan, Kehakiman, KY, Mahkamah Agung serta Departemen lainnya.
Tentu dengan posisi Forwaka yang semakin baik ini akan semakin memudahkan bagi wartawan dan kejaksaan didalam mengawasi dan membangun interaksi positif bersama masyarakat di dalam penegakan hukum. “Jika Forwaka kuat maka Jaksa akan kuat. Sebaliknya jika jaksa kuat maka wartawan Forwaka akan semakin kuat”.
Sebagai mitra yang menjadi penyebar luas informasi dari lima pilar yang ada di kejaksaan, tentu Forwaka akan dapat semakin mampu merespons positif semua gagasan yang berkembang di jajaran Kejaksaan RI. Seperti contoh Langkah Kejaksaan mengeksekusi terpidana mati baru-baru ini dipandang sebagai langkah maju kejaksaan. Karena negara ini sedang darurut narkoba, sehingga eksekusi hukuman mati menjadi efek jera untuk menangkal maraknya narkoba.
Bayangkan saja setiap hari adanya 20-40 meninggal karena penyalahgunaan narkoba, bahkan kegiatan mafia narkoba internasional sudah masuk kesemua ini kehidupan masyarakat hingga kepedesaan, sehingga sangat wajar sekali hukuman haruslah memberikan efek yang berat. Yang menjadi persoalan
kadang bagaimana kita menerapkan hukuman mati di tengah sistem peradilan yang masih “bolong- bolong”,dan sering kali masih diwarnai dengan praktik suap-menyuap.
Perubahan
Selama dua tahun terakhir bertugas Jaksa Agung HM Prasetyo SH berusaha melakukan perubahan,terlihat ada pembenahan kinerja untuk jajaran kejaksaan di dalam memperbaiki citra di mata masyarakat (public trust).Kemudian pembentukan Tim Satgasus Tipikor telah menjadi icon kebanggaan bagi kejaksaan untuk menunjukkan kinerja dalam pemberantasan korupsi. Namun tugas jaksa bukan disitu saja, perbaikan mental dan kultur dari SDM kejaksaan menjadi masalah serius yang harus dibenahi. “Mental jaksa yang nakal menjadi jaksa tidak nakal”,sebutan yang sederhana namun tidaklah mudah untuk merubahnya. Jumlah jaksa nakal memang sudah jauh berkurang, karena proses pengawasan memberikan sanksi tegas.
Kemudian langkah pembentukan TP4 (Tim Pengawal, Pengamanan Pemerintahan, dan Pembangunan) telah menjadi harapan masyarakat, karena melalui TP4 aparat Kejaksaan telah mengawal semua dana pembangunan.TP4 yang telah dibentuk dan telah berjalan di seluruh Kejaksaan Tinggi difokuskan pada ranah pencegahan, semisal penyimpangan atau penyelewengan anggaran. Jika praktik tersebut ditemukan, penindakan akan dilakukan.Penyimpangan tidak boleh dibiarkan dan kebijakan harus berlatar belakang alasan yang benar, sehingga hasilnya dirasakan masyarakat. Pembentukan TP4 mengacu pada Inpres Nomor 7 Tahun 2015 mengenai Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.
Pengawalan yang dilakukan TP4 agar penyerapan anggaran bisa transparan dan lebih baik. Dengan begitu, pejabat pemerintah dan pelaku bisnis bisa lebih nyaman menyelesaikan proyek pembangunan. Dalam TP4 Jajaran Intelijen telah memberikan penerangan penyuluhan pada instansi pemerintah BUMN dan BUMD agar tidak salah melangkah untuk penyerapan anggaran.
Jaksa Agung Muda Intelijen Dr.Adi Toegarisman SH MH memaparkan perlunya kontribusi Forwaka kedepan dalam perbaikan kualitas penegakan hukum (revitalitasi hukum). “Saya tantang Forwaka melakukan perubahan dengan mengedepankan perbaikan kualitas penegakan hukum dengan cara meningkatkan daya pikir secara konstuktif dalam menyajikan berita berita hukum dan memberikan kontribusi bagi penegakan hukum secara keseluruhan,”kata Adi saat menutup Sarasehan.
Korupsi di daerah
Optimalisasi penanganan kasus korupsi di daerah menjadi agenda penting bagi kejaksaan di daerah, seiring dengan berlakunya UU Otonomi daerah dan Pilkada langsung. Apalagi domain terjadi korupsi telah bergeser menjadi disentralisasi korupsi diberbagai daerah saat ini. Adanya kerja sama dengan Badan Reserse Kriminal Polri,Sekretaris Jenderal KPK,tentang pemetaan 10 area rawan korupsi yang dijadikan pedoman dalam pemberantasan korupsi.Dengan demikian, peningkatan koordinasi dan integritas penanganan korupsi didaerah haruslah menjadi bagian prioritas didalam mengungkap adanya tindak korupsi. Disamping mampu bekerja sama dengan justice collaborators untuk mengungkap lebih dalam perbuatan korupsi.
Fenomena korupsi Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) dan anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) baik tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota dalam era reformasi telah menunjukkan intensitas dan kuantitas semakin meningkat, bahkan telah menjadi keprihatinan semua lapisan masyarakat. Angka-angka kuantitatif yang terekam Kejaksaan Agung, KPK dan Kepolisian serta Kementerian Dalam Negeri telah menggambarkan maraknya korupsi yang melibatkan pejabat publik didaerah. Korupsi seolah tidak lagi menjadi dominasi kekuasan pusat tetapi sudah meluas searah otonomi kekuasaan daerah.
Kemudian di dalam rentang berlakunya kekuasaan Otda,terjadi eskalasi yang cukup tajam peningkatan kasus hukum korupsi. Sebagai contoh ada 177 Kepala Daerah ternyata terlibat dalam masalah hukum ada sekitar 157 Kepala Daerah, dan dari 32 Gubernur, ada sekitar 18 Gubernur terlibat masalah hukum dan terakhirnya Gubernur Banten Ratu Atut Choisiyah serta Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho.
Persoalan otonomi daerah dengan polemik Korupsi itu semakin menempatkan kapabilitas aparat penegak hukum, khususnya kejaksaan Agung RI untuk memerangi terhadap penyimpangan atas pengelolaan keuangan di daerah, dengan peningkatan kualitas dan SDM kejaksaan melalui peran Pengawasan menjadi sangat dominan dilakukan. Banyaknya anggota DPRD dan DPR-RI yang terlibat korupsi, menunjukkan lemahnya, pengawasan yang dilakukan lembaga itu, dan semakin memberikan bukti bahwa anggota dewan bukan fokus kepada masalah pengawasan tetapi terlibat di dalam masalah penyimpangan budgeting (anggaran) dari pada tugas legislasi.
Berdasarkan hasil temuan BPK, tahun lalu ada sekitar 1.056 kasus sebagai akibat ketidakhematan dan 6.615 kasus yang merupakan penyimpangan administrasi. Apalagi sering di dalam mendapatkan alokasi anggaran, aparatur daerah selalu menjemput bola untuk mendapatkan anggaran di kementerian atau DPR, sehingga langkah tersebut menciptakan suap menyuap untuk mendapatkan alokasi anggaran pemerintah pusat.
Ditengah maraknya tindak pidana korupsi di daerah, maka sudah saatnya Kejaksaan melakukan optimalisasi penindakan korupsi didaerah, melalui paradigma baru yang terintegrasi dengan membangun kualitas jaksa melalui peran pengawasan.
Publik akan kebanjiran data sahih, jika Tim Satgassus tidak menunjukan kinerja yang mampu membongkar skandal kasus korupsi besar, mengusut dan menangkal penyusupan mafia hakum yang akan mengganggu jalannya penyidikan di gedung bundar.Hemat saya dari paparan diatas sebenarnya optimalisasi penanganan kasus korupsi daerah haruslah dioptimalkan.Kejaksaan perlu bergegas mengoptimalkan pemberantasan korupsi daerah, karena masih banyak kasus diselidiki beberapa tahun lalu, tapi kini tenggelam.
Dengan adanya kebijakan pengawasan baik internal dan ekternal tersebut, dan sudah terbentuk Satber Pungli maka perilaku mementingkan diri sendiri dan menyalahgunakan kewenangan,bukan saja membuat kasus yang ditangani tidak bisa diselesaikan dengan baik, melainkan prilaku tersebut juga berdampak pada rendahnya penghormatan masyarakat terhadap hukum, secara optimal selayaknya bisa diubah aparat kejaksaan dengan mengubah diri menjadi agen perubahan yang bersikap ‘Satya Adhi Wicaksana’. Sikap itu akan memberi dampak positif terbangunnya penegakan hukum yang berintikan keadilan akan terwujud di negeri ini. (Penulis : Haris Fadillah adalah wartawan Koran TERBITTOP dan Mantan Pengurus PWI Pusat).