Presiden Jokowi harus menghadirkan negara untuk menjamin profesinalisme dan independensi Polri agar tidak diintervensi oleh kekuatan dari manapun, dalam menangani setiap kasus pidana dan ketertiban umum, sebagai bagian dari upaya mereformasi sistim penegakan hukum. Dalam kasus dugaan penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok, Presiden Jokowi atas nama negara harus menggaransi Polri untuk tetap obyektif karena Polri saat ini sedang menghadapi tekanan massa bahkan ancaman dari kekuatan massa sebagaimana dinyatakan oleh SBY yaitu: “akan ada demo sampai lebaran kuda apabila Ahok tidak segera diproses hukum dan menjadi tersangka”.
Meskipun aksi demo adalah bagian dari hak publik, akan tetapi eksistensi negara untuk mewujudkan prinsip negara hukum harus tetap dijaga dan dipertahankan dalam menangani setiap persoalan hukum. Dalam kasus dugaan tindak pidana penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok, tekanan kekuatan massa kepada negara agar Polri harus menangkap dan menahan Ahok karena kasus dugaan penistaan agama, menunjukan bahwa negara berada dalam posisi dikendalikan oleh tekanan massa, namun demikian negara juga harus mampu menjamin profesionalisme dan independensi Polri dalam menangani kasus penistaan agama. Polri dan aparatnya tidak boleh dibiarkan bekerja dalam kondisi tertekan oleh kekuatan massa, karena jika kondisi demikian dibiarkan maka visi Nawacita hanya akan menjadi sebuah fatamorgana.
Kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok, tidak boleh diselesaikan secara parsial, akan tetapi harus dilakukan secara terpisah, karena baik kontennya maupun motivnya berbeda antara Ahok dan Buni Yani. Karena itu penyidik seharusnya mendahulukan proses hukum atas laporan masyarakat terhadap Buni Yani, pemilik akun Facebook, yang mengedit isi video pernyataan Ahok, kemudian dinilai dan dipastikan dimana letak penistaan terhadap agama Islam. Pemisahan ini sangat penting, karena bagaimanapun juga peristiwa mengunggah isi video inilah yang menjadi “casus belli” pernyataan Ahok tidak lagi sesuai dengan aslinya bahkan menimbulkan makna baru sebagai penistaan terhadap agama.
Oleh karena itu Polri harus Polri harus membuktikan terlebih dahulu, apakah tindakan Buni Yani selaku orang yang mengunggah, mengedit dan kemudian memposting isi video itu, sehingga mengubah makna dan substansi pernyataan Ahok, sebagai telah menista agama, apa saja motiv dan tujuan dari pengeditan isi video dalam akun facebook milik Buni Yani, harus betul-betul didalami oleh penyidik, untuk mendapatkan kepastian apakah posisi Ahok adalah pelaku atau korban tindak pidana yang diduga dilakukan Buni Yani. Jika Buni Yani terbukti secara hukum bahwa video yang sudah diedit kemudian diposting ke publik, telah memenuhi unsur pidana sebagai perbuatan menista agama, dengan motiv-motivnya, barulah perkara dugaan penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok harus dinyatakan dihentikan penyelidikannya dan/atau penyidikannya.
Dalam konteks dugaan penistaan agama, barang bukti paling vital adalah rekaman berupa upload dalam akun facebook milik Buni Yani yang ternyata ada kata yang hilang yaitu kata “pakai” sehingga apabila pernyataan itu dibaca oleh publik, maka Ahok dapat dituduh telah melakukan penistaan terhadap agama. Padahal Ahok tidak memiliki niat dan motiv untuk menista agama Islam bahkan menyadarkan audiencenya agar tidak muda tertipu oleh upaya pihak-pihak tertentu yang menggunakan agama atau ayat suci agama untuk tujuan membohongi pihak lain. Melihat resistensi yang begitu besar dari masyarakat, maka penyidik Bsteskrim Polri harus menempatkan wibawa negara dan wibawa hukum di atas segala-galanya agar negara tidak gampang didikte oleh kekuatan massa.
(PETRUS SELESTINUS, KOORDINATOR TPDI-ADVOKAT PERADI PENASEHAT HUKUM KORAN TERBITTOP)