Dalam suasana peringatan Hari Pahlawan 2016, minggu lalu dalam suasana Hari Pahlawan bulan 10 November, bertempat di Plaza Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta, diadakan Seminar Bedah Sejarah Sultan Agung Mataram 1629, sekaligus tentang bagaimana membaca sejarah masa lalu untuk membangun ketahanan mental dan semangat anak bangsa.
Salah satu yang tadinya terasa janggal adalah bahwa Seminar tersebut mengambil topik tokoh Pahlawan Nasional Sultan Agung Mataram dengan latar belakang peristiwa heroik di 1628-1629 tatkala secara gigih Sultan Agung Mataram melawan kekuasaan VOC Belanda di Batavia. Untuk sebagian orang periode tokoh nasional ini sudah sangat lama dan tidak ada satu saksi sejarah yang masih ada dewasa ini.
Keturunan beliau Ibu Dr. Mooryati Sudibyo yang berusia 99 tahun tidak pernah melihat nenek moyangnya. Suatu periode pada jaman penjajahan Belanda yang hampir pasti tidak mudah diingat. Bahkan tokoh yang menjadi figur dalam Seminar itu pada waktu diusulkan di angkat menjadi Pahlawan Nasional menimbulkan kontroversi antara para anggota Dewan Tanda Jasa karena catatan sejarah yang tidak lengkap di tanah air. Tetapi kemudian dapat lolos karena ternyata dalam catatan di Negeri Belanda tokoh tersebut disebut dengan jelas sebagai musuh yang sangat merepotkan pada jamannya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Prof. Dr. Muhajir Effendy yang membuka Seminar yang sangat menarik itu justru dengan gamblang mengungkapkan secara jelas betapa tokoh yang menjadi sorotan itu dalam upaya mempersatukan bangsa, berani melawan penjajah Belanda yang mulai memindahkan markasnya dari Maluku ke Pulau Jawa di Betawi, yang secara historis Belanda mulai merangkak secara sistematis dari upaya sederhana berdagang dengan penduduk pribumi mengumpulkan rempah-rempah dan produk pertanian lainnya yang menguntungkan ke posisi tawar yang lebih serakah.
Kedatangan dan kegiatan awal dalam perdagangan itu menarik karena membawa kemakmuran rakyat banyak. Belanda di elu-elukan sebagai sosok yang baik hati memakmurkan rakyat karena membuka pasar rempah-rempah yang lebih luas sampai menjangkau kawasan luar negeri yang kaya dan menguntungkan. Tetapi rupanya nikmatnya perdagangan itu tidak memuaskan Belanda, karena untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar Belanda pada jaman itu mulai membentuk koloni guna mempertahankan kepentingannya.
Koloni-koloni itu menjadi awal dari gerakan dunia yang terkenal sebagai Kolonialisme sampai dewasa ini. Tidak puas dengan adanya koloni-koloni itu Belanda makin serakah dan menguasai wilayah demi wilayah yang muncul sebagai daerah jajahan dengan menggeser pemimpin pemerintahan yang tidak loyal pada kepentingannya. Periode kolonisasi Belanda berubah menjadi periode jajahan yang tidak lagi sekedar dalam bentuk koloni, tetapi berlanjut dalam bentuk penjajahan, dimulai dengan dipindahkannya markas VOC dari Maluku ke Batavia yang dilengkapi dengan pasukan yang kuat dan akhirnya melahirkan penjajahan Belanda lebih dari 350 tahun.
Langkah tersebut semula dikira Sultan Agung sebagai langkah bersahabat sehingga beliau mengirim utusan untuk kerja sama guna mematangkan rencananya mempersatukan Kekuasaan di Mataram. Tetapi rupanya perkiraan itu meleset karena VOC mulai mengendus bahwa apabila Mataram berhasil mempersatukan Tanah Jawa akan menjadi sangat kuat dan menghalangi maksud jahatnya yang tersembunyi.
Kerajaan Mataram yang kuat pasti tidak akan mau diperlakukan sebagai “boneka” yang tunduk pada penjajah yang “wajib” melindungi kepentingan penjajah. Membaca penolakan itu Sultan Agung secara bijaksana membaca maksud jahat Belanda sehingga memutuskan untuk merebut Batavia dan mengusir Belanda dari Tanah Jawa dalam upaya memperkuat kekuasaan Mataram dalam melindungi rakyat. Mulailah dilakukan persiapan besar-besaran untuk menggempur Batavia dengan mengerahkan pasukan, baik yang langsung dari Mataram, maupun pasukan-pasukan yang disumbangkan oleh mitra-mitra daerah kekuasaan dari daerah lainnya.
Siasat perang besar-besaran dengan mengerahkan armada kapal perang dengan perlengkapan logistik yang memadai disiapkan. Pasukan darat di kirim dari segala penjuru tanah Jawa dan serangan besar-besaran ke Markas Kompeni di Batavia dilakukan dengan gegap gempita. Serangan pertama, biarpun menyisakan korban yang banyak dari kedua belah pihak berhasil sampai ke pusat pertahanan lawan di Benteng tetapi kemudian dipukul mundur karena tidak seimbangnya persenjataan dan logistik. Kegagalan itu tidak menyurutkan semangat, disusul serangan kedua yang lebih hebat dengan persiapan logistik yang lebih mapan. Tetapi selalu ada mata-mata sehingga siasat dengan persiapan logistik ini ketahuan dan dihancurkan sehingga melumpuhkan pasukan yang jumlahnya lebih banyak itu.
Kalau kita tonjolkan sejarah dari cara pandang yang selalu berakhir kalah itu, maka anak-anak muda jaman ini akan sangat tidak hormat pada pahlawan bangsanya dan bahkan akan terkesan mereka itu adalah “pemberontak” pada pemerintahan yang sah. Tidak saja kesan itu, tetapi anak muda bisa berpikiran kecil hatinya bahwa sesungguhnya bangsa Indonesia adalah bangsa yang selalu kalah perang, bangsa yang lemah dan selalu memberontak.
Menteri Dikbud Prof. Dr. Muhajir Efendy telah meminta perhatian agar pembuatan film-film sejarah di masa depan, tanpa menyimpangkan kenyataan yang terjadi, mengambil episode yang menggambarkan bahwa Pejuang masa lalu adalah tokoh yang sesungguhnya sangat cerdik karena secara arif mengetahui niat busuk penjajah dan tidak tergoda pada iming-iming bahwa kekuasaan kerajaan akan tetap dipertahankan apabila menurut kehendak penjajah. Kekuasaan Raja tidak akan diganggu, jaminan untuk Raja dan segala keperluan kerajaan akan tetap dijamin, tetapi Belanda menguasai seluruh daerah jajahannya dengan mempergunakan Raja sebagai boneka yang menuruti apa saja kemauan penjajah. Raja Sultan Agung tidak mau menipu dan mengorbankan rakyat. Raja berterus terang dan menyadarkan rakyatnya bahwa kaum penjajah sesungguhnya tidak jujur membawa kemakmuran, tetapi mengambil alih kedaulatan bangsa dan rakyatnya.
Episode semacam ini kiranya diangkat ke permukaan. Raja sungguh tidak kehilangan “kenikmatan” secara pribadi dan kerabatnya tidak terganggu, tetapi sadar dan berterus terang kepada rakyat bahwa penjajahan Belanda akan menyengsarakan rakyat. Raja tidak mau melihat rakyatnya sengsara karena ulah Belanda yang serakah dan seakan-akan bertindak atas perintah Raja. Kejujuran Sultan Agung Mataram seperti itu mendapat sambutan rakyat yang luar biasa sehingga pada jamannya puluhan ribu rakyat dari segala penjuru kerajaan bersumpah pada Raja akan berjuang sampai titik darah yang penghabisan. Rakyat bertekad lebih baik mati berkalang tanah daripada menurut perintah penjajah yang berlindung pada kewibawaan kerajaan, yang dengan sungguh-sungguh dan penuh kasih sayang menata pemerintahan untuk melindungi dan mengantar rakyatnya hidup bahagia dan sejahtera.
Keputusan Raja Sultan Agung yang sangat penting lainnya adalah kebijaksanaan untuk menghentikan perang, bukan kalah, dengan alasan kalau pertempuran diteruskan melawan Belanda yang kemudian membabi buta dan membunuh dengan kejam siapa saja yang “memberontak”, padahal sesungguhnya “mempertahankan” tanah airnya. Oleh Belanda kenyataan manusiawi yang mencegah korban yang luar biasa banyaknya itu dianggap bahwa “pemberontakan” Sultan Agung telah dapat dikalahkan. Raja dan rakyat tunduk, menyerah dan mengakui kesalahannya.
Pristiwa ini mirip dengan “berhentinya” pakHarto sebagai Presiden karena tidak ingin terjadi perang saudara yang akan memakan korban banyak sekali rakyat yang tidak berdosa. Peristiwa itu sampai sekarang dikesankan Pak Harto mengaku salah dan dicopot dari jabatannya. Marilah membaca sejarah dengan hati nurani. (Prof. Dr. Haryono Suyono, pengamat sosial).