Minggu ini adalah suatu minggu yang lain dibanding hari-hari sebelumnya, karena penuh dengan berkah dan rahmat, betapa tidak, pada tanggal 20 Desember 2016, kita akan memperingati Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional tahun 2016. Dua hari kemudian, pada tanggal 22 Desember, kita akan memperingati Hari Ibu tahun 2016 dan pada tanggal 25 Desember 2016, ummat Kristiani akan memperingati Hari Natal tahun 2016. Peringatan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional biasanya diperingati tidak saja dalam satu hari tetapi biasa diperingati beberapa hari oleh berbagai kalangan yang berbeda-beda.
Sebagai hari yang menandai betapa rakyat Indonesia yang baru merdeka pada tahun 1945, pada tanggal 19 Desember 1948 ibu kota RI yang dipindah ke Yogyakarta pada waktu itu digempur habis-habisan oleh agresi Belanda yang ingin merebut kembali ibukota RI dan membatalkan kemerdekaan yang diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Pada hari beerikutnya seluruh rakyat Indonesia serentak setia kawan membela kemerdekaan itu habis-habisan.
Para prajurit kita memperingati Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional itu sebagai simbul bersatunya rakyat dengan kalangan TNI, bahu membahu mempertahankan tanah air yang baru merdeka itu dari tangan penjajah yang dengan kekerasan ingin merebut kembali kemerdekaan yang baru diraih beberapa tahun sejak tahun 1945. TNI, gara-gara serbuan itu mengungsi ke daerah pegunungan dan pedesaan, dengan kekuatan rakyat yang kompak solider menyatakan diri bergerilya tanpa batas kepada Belanda yang menduduki Ibu Kota RI Yogyakarta dan kota-kota lain di seluruh Indonesia.
Belanda menyatakan dengan sombong bahwa RI tidak ada dan tidak diakui sebagai suatu negara. Tetapi TNI dengan solidaritas penuh menyatakan bahwa RI tetap ada di seluruh pelosok tanah air. Perang gerilya dikumandangkan di seluruh desa dan patroli Belanda di mana-mana selalu dicegat oleh TNI yang dengan senapan seadanya hasil rampasan serta bersenjatakan bambu runcing berani menghadang patroli tentara Belanda yang dilengkapi dengan senjata modern.
Dari reruntuhan bom di sekitar Yogyakarta prajurit TNI dengan bantuan rakyat di seluruh desa dan gunung-gunung di Yogyakarta dan di seluruh Indonesia rakyat menyusun kekuatan dan tanpa kendala apapun langsung mendapat dukungan logistik lengkap rakyat banyak dalam suatu rangkaian dari rumah ke rumah, sehingga tidak perlu membuka dapur umum, tetapi rakyat dengan sukarela memasak untuk prajurit TNI dan relawan yang siang hari menyamar sebagai penduduk desa dan pada malam hari siap menjadi prajurit tempur yang berani mati biarpun senjatanya sangat terbatas sebagian tidak ada pelurunya karena hasil rampasan dari patroli yang ketakutan lari tunggang langgang dicegat TNI. Dengan bambu runcing mereka menyerbu tempat-tempat strategis Belanda menjaga batas kota atau mencegat patroli Belanda di pinggir kota.
Gerilya sporadik itu akhirnya dibulatkan berkat restu Sri Sultan Hamengku Buono ke IX dan kepemimpinan Letkol Soeharto yang pada tanggal satu Maret tahun 1949 menyerbu dan selama enam jam menduduki Ibu Kota Yogyakarta dan membuktikan bahwa RI tetap ada dan akan tetap merupakan ancaman bukan saja sekitar Ibu Kota Yogyakarta tetapi sejak saat itu menjalar dengan penuh keberanian ke selruh Indonesia. Suatu serangan simbolis yang menggegerkan dunia dan sekaligus memberi semangat kepada semua jajaran prajurit TNI dan pejuang kemerdekaan yang menunggu “komando” yang pada masa itu tidak dapat disiarkan secara terbuka seperti jaman sekarang.
Perang gerilya yang tidak ada hentinya akhirnya memaksa Belanda pada tanggal 22 Juni 1949 menyerah dan pada tanggal 29 Juni, yang kemudian dijadikan Hari Keluarga Nasional oleh Presiden Soeharto, keluarga Indonesia berkumpul kembali dengan seluruh anggota keluarganya. Pada akhir tahun itu RI secara resmi diakui dunia sebagai suatu negara merdeka yang berdaulat penuh.
Hari bersejarah yang kedua tidak kalah serunya. Tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu yang selalu diperingati dengan membacakan sejarahnya secara lengkap karena merupakan hasil kesepakatan dari kaum wanita Indonesia yang bersatu bukan sekedar untuk arisan atau kongko-kongko serta omong-kosong tetapi bersatu berjuang untuk kemerdekaan dan persamaan derajat dalam perjuangan membangun dan mengisi kemerdekaan serta mengantar seluruh anak bangsa merdeka bebas dari kemiskinan, kebodohan dan ketidak adilan dalam mengabdi kepada ibu pertiwi yang tercinta.
Oleh karena itu Hari Ibu harus selalu diisi bukan dengan upacara serimonial tetapi dengan terjun langsung ke desa-desa membantu pemberdayaan para ibu, calon ibu dan anak-anak balita yang nantinya akan menjadi ibu. Anak-anak balita tidak boleh satupum tidak mengikuti pendidikan dalam PAUD agar masa kecilnya belajar bersama teman-temannya membangun kepercayaan sesama teman untuk membangun kebersamaan dalam kelompok sehingga hidupnya kelak tidak perlu menghafal Pancasila, tetapi sejak seribu hari pertama memang telah belajar dalam budaya kebersamaan yang saling peduli dan berbagi.
Anak-anak perempuan tidak perlu berjuang untuk kesetaraan gender karena sejak sangat dini telah bergaul sama derajat dengan anak laki-laki, sehingga kesertaannya dalam kehidupan bukan ditentukan oleh kelaminnya tetapi oleh kekuatan otak, sikap dan tingkah lakunya dalam membangun kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Anak-anak remaja tidak menyerah menjadi ibu rumah tangga karena anak lelakipun bisa juga menjadi bapak rumah tangga berbagi dengan isterinya yang bukan lagi “konco winking” tetapi mitra sejati berbagai kasih, suka dan duka serta membawa kehormatan keluarga dan bangsanya.
Bersama-sama kaum perempuan dalam menghadapi dunia yang makin adil dan harmonis akan tidak lagi memperjuangkan persamaan hak, tetapi akan berbagi sesama karena memiliki visi dan misi luhur untuk mengangkat derajat sesama makluk, termasuk memelihara kakayaan alam semesta untuk anak cucu dikemudian hari. Kita tidak akan berjuang sebagai super woman atau super man tetapi perempuan dan lelaki akan berjuang membangun super team seakan menterjemahkan Pancasila yang gotong-royong bukan sekedar mengangkat beban bersama-sama tetapi akan berjuang dalam kebersamaan dalam kekuatan sinergi yang menghasilkan kekuatan maha dahsyat sebagai bangsa Pancasilais yang sejati.
Keharmonisan bangsa akan muncul dengan adanya kesetaraan gender, bukan karena kita memenangkan kaum perempuan atau kaum laki-laki tetapi karena setiap makluk manusia saling hormat menghormati dan menghargai seseorang, karena ibadahnya kepada Allah Tuhan yang Maha Kuasa yang di dunia ini diwujudkan dalam bentuk saling perhatian dan berbagi sesama keluarga lain, sehingga upaya pengentasan kemiskinan bukan lagi menjadi proyek pemerintah tetapi kewajiban setiap warga negara yang menghendaki adanya keadilan dan kebersamaan menikmati surga di muka bumi dan surga di akhirat yang abadi nanti. Insya Allah. (Prof. Dr. Haryono Suyono, pengamat sosial).