Dalam waktu beberapa hari lagi kita akan memperingati Hari Kesetiakawan Sosial Nasional (HKSN) tahun 2016. Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional itu diilhami oleh serbuan tentara sekutu pada tanggal 19 Desember 1948 yang ingin menduduki kembali Negara Kesatuan RI yang diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Belanda tidak rela dan mengerahkan pasukannya untuk menyerbu Ibu Kota RI pada waktu itu yang dipindahkan ke Yogyakarta. Tetapi serbuan tentara Belanda besar-besaran itu justru membangkitkan semangat rakyat untuk bersatu dan membangun barisan di semua desa di seluruh Indonesia mengobarkan semangat perang girilya yang menjadi ciri utama model perang baru yang kemudian menempatkan Indonesia sebagai pencipta sistem perang melawan kolonialisme di seluuruh dunia.
Indonesia membangkitkan suatu sistem pertahanan semesta dimana rakyat dan tentara nasional bersatu, bahu membahu saling isi mengisi menjadi benteng pertahanan semesta yang tidak ada tandingannya. Setiap hari seakan tidak ada apa-apa, rakyat biasa saja bekerja layaknya rakyat biasa, ada yang bertani, berdagang ke pasar berjualan hasil sawah dan kebunnya, ada yang sekolah dan ada pula yang santai di rumah masing-masing saling mengobrol saling mencari kutu sambil menyibak rambut yang tebal dioles dengan minyak.
Tentara menyatu dengan rakyat setiap hari berganti pakaian seperti layaknya rakyat biasa ikut bekerja di desa dan di sawah, mencangkul dan bertani, di pasar ikut berdagang, di kebun ikut menanam tanaman dan semua berlaku dengan waspada mengintai pertahanan musuh dan pada malam harinya siap menyerang tempat-tempat penting seperti gudang peluru dan pusat-pusat pertahanan strategis tentara Belanda. Kelihatannya seperti solidaritas sosial biasa, tetapi sesungguhnya suatu solidaritas perjuangan kemerdekaan yang secara naluriah disusun berdasarkan strategi manajemen pertahanan alamiah yang diciptakan oleh semangat pantang menyerah dari seluruh lapisan masyarakat luas.
Pada tingkat yang pertama rakyat secara gotong royong menjadi jaringan logistik yang tidak ada putusnya dari ujung gunung sampai ke kota dalam solidaritas tanpa komando, dimana di setiap rumah menyediakan minum dan makanan ala kadarnya bagi prajurit dan relawan yang setiap malam turun gunung ke kota. Mereka melakukan perang gerilya dengan taruhan nyawa karena hanya bersenjatakan bambu runcing. Ada yang membawa keris atau parang yang sesungguhnya dengan mudah dapat dikalahkan oleh senjata modern. Tetapi alat sederhana itu dilandasi dengan hati penuh kasih sayang pada negaranya yang baru merdeka dan semangat tidak takut pada apapun yang menjadi andalan serdadu Belanda yang hanya sekedar menerima bayaran saja.
Solidaritas sosial itu adalah solidaritas berani mati karena perjuangan persamaan tekad dengan komitmen tanpa reserve. Solidaritas itu bukan semata solidaritas sosial karena alasan kasihan pada anak bangsa yang berjuang mempertaruhkan jiwa dan raganya, tetapi solidaritas yang dilandasi dengan tuntunan dan tontonan anak muda prajurit bangsa yang tidak takut mati karena yakin bahwa kemerdekaan bangsanya akan mengantar anak cucunya kelak menjadi anak bangsa yang merdeka dan berdaulat serta menjadi pemimpin di negaranya yang merdeka sejajar dengan negara merdeka lainnya.
Orang tua yang tidak pandai lagi memanggul senjata dengan rela ikut memberi doa dengan segala resiko berjajar di jalan memberi semangat kepada anak muda yang berbondong memanggul senjata apa adanya berbaris melenggang tanpa rasa takut akan dilaporkan kepada kompeni Belanda. Setiap matahari terbenam tentara dan relawan muda mulai turun gunung untuk berbaris menuju kota dalam perang gerilya terbuka dengan dukungan rakyat banyak yang tidak ada satu pun yang berani berkhianat melapor kepada Kompeni Belanda. Ada kalanya mata-mata Belanda yang coba melapor akan hancur dibogem mentah oleh rakyat banyak yang tidak ingin anak muda pejuangnya mati konyol karena ulah mata-mata anak bangsa yang ingin segelintir uang pelicin dengan mengorbankan anak bangsanya.
Anak-anak kecil memberi semangat dengan ikut menyanyikan lagu perjuangan biarpun dengan sembunyi-sembunyi. Mereka ikut juga membuat senapan dari daun pisang dan membakar semangat dengan ikut menyelenggarakan serangan mainan dengan sesama teman teman sebaya menambah semarak perang gerilya yang diselenggarakan oleh rekannya yang lebih dewasa dengan dukungan seluruh penduduk di desanya. Kalau mereka masih hidup pasti mereka akan kecewa melihat para pemimpin jaman ini yang tidak ikut berjuang tetapi saling berebut rejeki dengan mengambil uang negara. Apalagi melihat para pemimpin yang menekan rakyat yang ada di desa yang dijaman mudanya mengorbankan segalanya untuk perjuangan bangsanya.
Kesetiakawanan sosial pada jaman itu sungguh penuh semangat dan perlu dikenang bukan sekedar dengan upacara sosial biasa, tetapi harus dikenang sebagai bagian dari perjuangan bangsa merebut kembali kemerdekaan yang ingin diambil oleh Belanda. Kesetiakawanan harus diwujudkan dengan semangat memerangi kemiskinan, kebodohan dan serangan narkoba yang ingin menghancurkan bangsa besar ini menjadi makanan empuk neo kolonialis yang ingin memecah belah bangsa. Kolonialis yang ingin menjadikan kita semua budak mereka kembali dan merampas kekayaan alam semesta yang belum sempat kita garap untuk sebesar-besar kemakmuran anak bangsa sendiri. Marilah kita bangkitkan solidaritas perjuangan untuk masa depan yang lebih gemilang! (Prof. Dr. Haryono Suyono, pengamat sosial).