Menjaga kebhinekaan bagi rakyat Indonesia adalah harga mati. Hal itu bukan saja karena melestarikan kebhinekaan Indonesia sesungguhnya identik dengan menjaga keutuhan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), tetapi juga menuntut seluruh rakyat Indonesia untuk menghormati segala bentuk berbedaan suku, ras, agama, dan hal lainnya yang beraada di seantero nusantara.
Karena itu, tentu semua pihak setuju jika ada sejumlah kelompok masyarakat di tanah air yang berupaya menjaga kebhinekaan Indonesia dengan berbagai aktivitas. Ada yang melakukan upaya itu lewat kegiatan seminar, festival budaya, atau parade kebhinekaan yang digelar seperti aksi demo. Sayangnya, tidak sedikit di antara para penggagas atau penyelenggara berbagai kegiatan dalam upaya menjaga kemajemukan bangsa Indonesia itu, tidak memahami secara benar tentang konsep kebhinekaan Indonesia yang sesungguhnya.
Mereka kerap memandang kebhinekaan Indonesia hanya dari perpektif dan kepentingan kelompoknya. Kenyataan itu tidak jarang menyebabkan berbagai aktivitas yang digelarnya dalam rangka menjaga kemajemukan bangsa justru bertentangan dengan konsepsi kebhinekaan Indonesia yang sebenarnya. Akibatnya, upaya menjaga kebhinekaan yang digagas atau dilakukannya lewat berbagai ivent kegiatan kerap kontraproduktif dengan hakikat kebhinekaan yang dimiliki bangsa Indonesia.
Pemahaman yang salah dalam mencermati konsep kebhinekaan Indonesia itu biasanya terjadi dalam berbagai hal yang terkait dengan persoalan suku, agama, dan ras atau SARA. Misalnya, ketika ada sekelompok masyarakat yang menghendaki pemimpin daerah, yaitu bupati, walikota, atau gubernur dari tokoh yang seiman dengan mayoritas penduduk, kerap oleh kelompok masyarakat minoritas yang beragama lain dikategorikan sebagai SARA yang bisa merusak kebhinekaan Indonesia.
Padahal, sikap masyarakat mayoritas di daerah yang seperti itu didasari oleh ajaran agama yang dianutnya yang sesungguhnya menjadi bagian dari kebhinekaan yang harus dihormati. Jadi, tuduhan minoritas yang menyebutkan bahwa warga mayoritas yang menghendaki pemimpin daerah yang seiman sebagai tindakan SARA yang bertentangan dengan kebhinekaan, justru sebenarnya sebagai sikap yang merusak upaya menjaga kebhinekaan Indonesia.
Hal itu disebabkan agama sesungguhnya adalah bagian dari unsur kemajukan yang dimiliki bangsa Indonesia. Karena itu, ketika ada kelompok masyarakat yang tidak menghormati penganut agama tertentu dalam menjalankan ajaran agamanya, maka mereka jelas merupakan kelompok masyarakat yang telah merusak kebhinekaan Indonesia. Sikap seperti itu tentu tidak bisa dibiarkan karena selain tidak jarang memunculkan konflik antarpenganut agama yang sangat krusial, juga bisa membahayakan keutuhan NKRI. Untuk itu, pihak-pihak yang sering melakukan tuduhan-tuduhan seperti itu seharusnya mulai sekarang hentikan.
Selain hal di atas, upaya menjaga kebhinekaan Indonesia oleh berbagai pihak selama ini juga kerap terpaku pada acara-acara seremonial yang terkadang tidak substantif. Kondisi tersebut menyebabkan usaha menjaga kemajemukan bangsa Indonesia melalui berbagai kegiatan menjadi tidak terarah dan tidak efektif, sehingga hasil yang diharapkan pun menjadi tidak maksimal.
Bertolak dari kenyataan itu, maka sudah selayaknya pihak-pihak yang berkentingan mengembangkan kajian-kajian yang komprehentif untuk membangun kesamaan persepsi terkait dengan konsep kebhinekaan Indonesia. Hal itu dibutuhkan agar kesalahan pemahaman tentang kemajemukan bangsa Indonesia tidak lagi terjadi dan konflik yang bersumber dari persoalan itu dapat dihindarkan. Jika hal seperti itu benar-benar bisa diwujudkan konflik yang berbaru SARA dapat diminimalisasi dan kebhinekaan Indonesia bisa terus terjaga. (Penulis : Mustopa Abasadalah wartawan Koran Terbit Top)