JAKARTA-(TERBITTOP.COM)-Ketua Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) Jakarta Barat, Hartono Tanuwidjaja SH, MSi, MH mengatakan dalam menjalankan profesi sehari-hari di pengadilan, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim tidak memiliki standar hukum tentang pengajuan tinggi rendahnya tuntutan maupun putusan (vonis).
“Ini bahaya, kalau tidak ada standarnya.Tarolah kita bicara seseorang melakukan kesalahan. Berat ringannya itu kan banyak faktor tapi jangan ukuran tuntutan dan penjatuhan pidana itu acuannya Undang-undang karena undang-undang ini kan mati dari rasa keadilan,” kata Hartono Tanuwidjaja SH, MSi, MH, kepada sejumlah wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pekan lalu. Dia menanggapi karena selama ini banyak tuntutan dan putusan hakim yang dinilai belum memberikan rasa keadilan di masyarakat.
Pengacara senior tersebut sempat miris hatinya saat mengikuti sidang pembacaan putusan terhadap dua terdakwa perkara narkotika masing-masing, Budiono dan M Fitra. Mereka semula dituntut jaksa Januari 10 tahun penjara dan akhirnya divonis masing-masing 9 tahun penjara oleh ketua majelis hakim Binsar Gultom SH, MH.
Yang menarik bagi Hartono, kedua terdakwa diadili tanpa didampingi penasihat hukum sejak pembacaan dakwaan. Padahal ancaman pidana terkait pasal dakwaan jaksa di atas lima tahun. Seyogianya menurut Hartono, mereka harus didampingi penasihat hukum karena Budiono dan M Fitra didakwa jaksa dengan ancamannya di atas lima tahun penjara.
“LBH, Posbakum itu gratis kok. Tapi mereka tidak didampingi PH (penasihat hukum),” kata Hartono.
Menghukum orang, lanjutnya, segi kemanusiaan harus dipertimbangkan juga. Misalnya orang tersebut masih muda dihukum 9 tahun atau yang sudah punya istri dan anak harus dipertimbangkan juga oleh jaksa. Karena itu jadi beban negara harus dipikirkan. Misalnya 50 orang tiap hari dipidana di Indonesia berapa itu bebannya padahal orang tersebut masa produktif. Itu harus dipikirkan.
“Kita harus berbicara obyektif dimana aturan KUHAP pokok menyatakan KUH Pidana kalau ancaman hukuman pidananya lima tahun wajib didampingi ‘PH’ atau pengacara. Kalaupun dia menolak begitu tapi dihadirkan menjadi satu acuan hukum acara pidana.Pertanyaannya, ketidak tahuan terdakwa ini pentingnya didampingi PH itu karena kepolosan dia atau ketidak tahuan dia,” imbuh Hartono.
Selanjutnya, menurut dia, kita harus pikir kan juga. Artinya jangan kita selalu berfikir bahwa menegakkan hukum itu apa namanya dari kuantitas ataupun tingginya angka penjatuhan hukuman. “Jadi kita lihat gitu masalah satu selesai tapi menimbulkan masalah baru,dalam mengajukan tinggi rendahnya tuntutan maupun vonis,”kata Hartono. (Dolat Munthe)