Dua hari lagi diadakan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota secara serentak untuk hampir separo daerah di Indonesia. Dalam dua bulan terakhir ini seluruh rakyat, baik yang berhak memilih atau tidak, mendengar dengan nyaring kampanye dari para calon dengan berbagai variasinya. Ada yang dengan tegas dan lugas memamerkan program dan rancangan kegiatan yang akan dilakukan apabila pasangannya dipercaya memimpin daerah oleh rakyat mayoritas wilayahnya. Ada pula yang berjanji akan meningkatkan martabat dan kesejahteraan rakyat banyak.
Ada pula yang menyindir para pimpinan lama yang tidak memberi dukungan kepada kiprah rakyatnya. Ada yang diam-diam menuduh rekannya melakukan kampanye hitam. Ada yang secara tidak sengaja melontarkan sindiran bahwa rekan lawannya mulai mempergunakan uang untuk menarik pemilih. Bahkan, apakah suatu lelucon atau sungguhan, ada dikabarkan adanya desa yang memasang spanduk siap menerima serangan fajar atau sumbangan dari calon kepala daerahnya.
Anehnya tidak semua calon menjanjikan program atau kegiatan kreatif selama lima tahun mendatang, tetapi sering menjanjikan pemberian fasilitas charity seakan pemerintah daerah yang akan dipimpinnya adalah suatu lembaga Sinterklas yang setiap kali akan datang kepada rakyat untuk memberi makan, pakaian, fasilitas kesehatan dan pendidikan secara gratis. Rakyat tinggal menengadahkan tangan menerima pemberian dari “Pemimpinnya” yang harus dipilih tanpa pertimbangan rasional karena yang dipilih itu akan “bekerja keras” menyediakan segala sesuatunya secara gratis. Jarang pemimpin yang mengajak para calon pemilihnya untuk mengirim anaknya belajar dengan tekun agar pada akhirnya siap untuk menjadi kreatif menciptakan lapangan usaha atau lapangan pekerjaan yang membawa kemakmuran bangsanya.
Jarang, atau hampir tidak ada, pemimpin yang berjanji bahwa apabila terpilih nanti akan menyediakan kegiatan yang mendukung upaya rakyat bekerja gotong royong membersihkan lingkungan sekitar agar bebas penyakit, membangun lingkungan yang menjamin rumah-rumah yang memiliki jamban keluarga guna mencegah penyakit, menyediakan infrastruktur menuju ke pusat-pusat pendidikan agar anak-anak bisa bersekolah dengan lancar, bebas kemacetan dan pergi ke sekolah dan pulang sekolah tidak terlalu lama karena jalan menuju ke sekolahnya bebas hambatan, sekolahnya dibangun dari pajak rakyat dengan baik agar anak-anak, tinggal di mana saja dapat menikmati fasilitas pendidikan unggul sehingga pemerataan pendidikan artinya setiap anak memiliki kesempatan untuk lulus dari setiap sekolahnya dengan baik dan dengan mudah dapat melanjutkan pendidikan di mana saja dengan lancar.
Anak-anak sekolah tidak saja belajar di ruang kelas, tetapi bergaul dengan masyarakat luas sehingga kurikulumnya bukan sebagai pedoman mati, tetapi bisa bergerak dinamis sesuai dinamika masyarakat sekelilingnya. Setiap lulusan sekaligus bisa mengenal kemampuan lingkungan dan kekayaan alam sekitarnya sehingga setiap sekolah dan masyarakatnya menyatu menjadi laboratorium yang mengolah gagasan cemerlang memelihara kekayaan alam bukan berarti melestarikan yang ada tetapi menjadikan kekayaan itu makin melimpah dan membawa manfaat kepada rakyat banyak.
Jarang, kalau tidak boleh dikatakan tidak ada, kandidat yang ingin membangun upaya pemberdayaan ekonomi dengan kemudahan pelatihan ketrampilan produksi dari bahan baku kekayaan alam yang diolah melalui kearifan lokal yang dijamin dengan dukungan pengembangan teknologi sederhana yang diciptakan oleh para ahli dari perguruan tinggi dengan kesediaan untuk makin modern sesuai dengan kematangan pemakainya. Kearifan lokal yang menjadi modern bukan karena diborong oleh modal asing, tetapi diramu oleh anak bangsa yang cinta kepada partisipasi saudaranya yang makin lama makin maju bukan karena diganti tenaga asing, tetapi karena perhatian, kepedulian dan kesediaan berbagi yang dijamin bukan oleh UU saja, tetapi oleh cinta kasih dan jiwa gotong royong yang ikhlas.
Rakyat di hibur dengan janji-janji seakan bisa hidup mudah karena segala sesuatunya disediakan oleh pemerintah yang diwakili oleh beberapa Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota dan perangkatnya bekerja setengah mati untuk menyediakan segala keperluan hidup rakyatnya dengan ikhlas. Padahal tidak sedikit dari petugas itu yang ternyata terlebih dulu menyediakan segala sesuatu, bahkan mengambil segala keperluannya melebih keperluan yang dibutuhkannya. Untung kalau tertangkap tangan. Kalau tidak maka yang diambilnya adalah untuk keperluan anak cucu sampai ke turunan yang dijamin sampai puluhan tahun setelah masa jabatannya berakhir.
Karena jaminan para calon pemimpin bangsa itu, banyak anak bangsa menjadi malas dan tidak berusaha membangun modal budaya yang telah diwariskan nenek moyangnya yaitu hidup gotong royong sesama Saudara dan tetangga di dekat rumahnya. Lingkungan dibiarkan kotor dengan air yang tidak mengalir. Pinggiran sungai dan pantai yang indah setiap pagi dan malam penuh dengan penduduk “yang semedi” atau “nongkrong”membuang kotoran yang membuat lingkungan sekitar dicemari dengan virus penyakit yang berbahaya. Kekayaan alam dikuras habis untuk dimakan sekarang, padahal anak cucunya membutuhkannya untuk kehidupan yang sama sejahteranya di masa mendatang.
Pedoman strategi pembangunan yang dikembangkan oleh bangsa-bangsa sedunia dan ditanda tangani oleh hampir dua ratus Kepala Negara, untuk lima belas tahun mendatang dan disebut sebagai Pembangunan Berkelanjutan, Sustainable Development, tidak disinggung untuk disukseskan di daerah yang akan dipimpinnya. Kalau tidak ada satu daerah yang ikut mengerjakannya, jangan harap Indonesia akan menjadi negara terhormat untuk sukses dalam pembangunan yang berwawasan global dalam lima belas tahun yang mendatang.
Ini berarti Indonesia akan selalu disebut sebagai negara nomor empat hanya karena besarnya jumlah penduduknya saja. Nilai kesehatan, pendidikan, wira usaha dan pemeliharaan lingkungan serta kesenjangan sesama penduduknya akan tetap menganga makin melebar setiap tahunnya. Bangsa multi etnis dan kultural perbedaan antar warganya makin juah dan lama kelamaan makin tidak mau kenal sesama anak bangsanya.
Kalau itu yang terjadi, maka pemilihan Kepala Daerah adalah suatu usaha yang tidak berarti memilih pemersatu anak bangsa, tetapi justru memilih pemimpin yang makin menjauhi target-target SDGs yang sengaja diciptakan untuk membangun suatu masyarakat dunia yang bebas kemiskinan, kelaparan, pemeliharaan lingkungan dan kekayaan alam semesta untuk pembangunan berkelanjutan serta suasana damai dan sejuk dalam lingkungan keluarga yang hidupnya tenteram dan ceria.
Kalau suasana pemilihan kepala daerah diutamakan mengarah kepada tujuan dan sasaran untuk kepentingan orang banyak, kiranya bangsa ini akan menjadi bangsa besar dengan kekuatan maha dahsyat karena memiliki sumber daya manusia yang melimpah, kekayaan alam yang tidak ada duanya serta kearifan lokal yang melalui persatuan dan kesatuan bisa digalang menjadi kekuatan maha dahsyat. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pembina Yayasan Anugerah).