LEMBAGA KEJAKSAAN kembali tercoreng setelah terjadi dua kali OTT (Operasi Tangkap Tangan) wilayah kerja Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dan Bengkulu. Tertangkapnya Kejari Pamakesan Rudi Indra Prasetya oleh KPK dalam operasi tangkap tangan pada Rabu, 2 Agustus 2017 merupakan pukulan telak bagi lembaga kejaksaan yang sedang membangun publik trust.Sebelumnya jaksa di kejati Jawa Timur AF juga diciduk petugas Satber Pungli karena menerima uang suap sebesar Rp1,5 miliar. Uang suap itu berhasil diamankan dari rumah kontrakan AF di sekitar kantor Kejati Jatim pada (23/11).
Tiga kali kejadian penangkapan oknum jaksa ini menandakan bahwa ‘waskat atau pengawasan melekat’ tidak berjalan maksimal di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dan Bengkulu. Sebelumnya kejadian yang sama dalam operasi OTT KPK juga menangkap jaksa Parlin Purba di Kejati Bengkulu Kamis (8/6). Dalam operasi itu KPK juga mengamankan salah seorang kepala seksi berinisial AA yang bertugas di Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWSS).
Tiga kasus yang menjadi sasaran penangkapan terhadap jaksa sebenarnya merupakan upaya kejaksaan yang sedang melakukan upaya bersih bersih. Namun hampir semua kasus yang menyeret jaksa adalah terlibat menerima ‘suap’.Jaksa Agung HM Praetyo SH MH bahkan menyatakan, nama institusi yang dipimpinnya sejak dua tahun lalu itu rusak akibat peristiwa tersebut. Penangkapan tersebut merupakan upaya untuk menertibkan kejaksaan dari oknum yang merugikan instansi tersebut. Apa yang dilakukan KPK sebenarnya sudah sejalan dengan visi kejaksaan untuk bersih-bersih !!
Namun masalah pengawasan melekat ini menjadi sorotan yang harus dibenahi kedepan. Waskat belum maksimal ternyata diberbagai kejaksaan tinggi yang memiliki sekitar 600 satker (satuan Kerja) di seluruh Indonesia.Kasus ini menandakan bahwa reformasi yang ada belum berjalan optimal. Namun demikian meskipun sudah dilakukan pembenahan, dibangun mekanisme pengawasan melekat, mekanisme operasional dari sistem pengawasan tetap terbangun dengan sistem yang bagus dan mengeliminasi adanya penyimpangan. Dan, si pelaksana, dalam hal ini aparat pengawasan, pejabat struktural, melingkupi satuan kerja di daerah. Bagaimana pun hebatnya sistem, kembali ke istilah, man behind the gun.??
Atas dasar itulah, harusnya bidang pembinaan kejaksaan harus betul betul dipertajam dalam termasuk sistem dalam Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan karena akan menempatkan orang-orang yang sekaligus bisa mengoperasionalkan visi-misi kedinasan. Seorang kajari juga harus melaksanakan sistem pengawasan melekat. Sering dan berulangnya jaksa ditangkap juga mengidentifkasi bahwa banyak sorotan kepada lembaga ini yang harus dibenahi.
Namun KPK sebagai anti rasuah harusnya juga mampu membongkar berbagai penyimpangan yang terjadi lembaga lain. Jangan sampai terjadi tebang pilih dalam memberantas korupsi, bukankah kita jarang mendengar adanya korupsi dibongkar KPK ditubuh Kepolisian, TNI dan lembaga penyidik lainnya.
Dengan berbagai peristiwa itu hemat saya selayaknya kejaksaan perlu menyiapkan instrumen untuk memonitor perilaku jaksa. Perlu dipertajam lagi IPKJ (instrumen penilaian kinerja jaksa). Dalam IPKJ, seorang jaksa diobservasi dan mengobservasi dirinya sendiri. Harus dipertaman juga profile assessment terhadap calon- calon kepala kejaksaan negeri. Kita tahu Pengawasan juga memiliki rekam jejak jaksa selama menjadi pegawai.
Kita melihat selama ini sistem pengawasan di daerah itu seperti ‘antara ada dan tiada’. Seperti tidak berfungsi sebagai satu lembaga pengawasan.Pengawasan internal Kejaksaan terbagi menjadi dua, yakni pengawasan melekat (waskat) dan pengawasan fungsional (wasnal).Namun sampai kini sistem pengawasan tersebut kurang berjalan efektif. Padahal kita tahu Reformasi ketentuan-ketentuan yang ada di pengawasan, yang sudah berhasil dengan lahirnya enam peraturan Jaksa Agung pada Hari Bhakti Adhyaksa tahun 2007 diluncurkan. Setelah itu, ditindaklanjuti dengan action plan, antara lain dengan tahap implementasinya, namun belum maksimal berjalan.
Dalam waskat sebenarnya tanggung jawab pengawasan yang berada di tangan pejabat struktural, yakni atasan langsung.Sebabnya, para pejabat yang seharusnya bertanggung jawab tidak memberikan kinerja yang diharapkan. Sementara Tanggung jawab pejabat struktural dalam bekerja, mengendalikan, menggerakan unit kerjanya masing-masing itu,kita lihat faktanya tidak seperti apa yang diharapkan oleh Jaksa Agung, karena waskat belum berjalan.
Karena itu hemat saya Kejaksaan agung harus mengusut dan mencari akar masalah yang lebih mendasar. Pada situasi demikian masih ada kejadian serupa berulang ulang ketangkap, kan kelewatan sekali. Kejaksaan harus mencari format yang lebih efisien dan lebih efektif serta mencari titik lemahnya. Terlalu berani kalau sampai terjadi lagi berulang kembali dan memalukan sehingga dinilai waskatnya tumpul.(haris fadillah)