Maklumat Ketua Mahkamah Agung sebagai bentuk pengawasan Hakim membuat kita tersentak.Seperti tak berwibawa ketika belum sebulan berlaku sudah terjadi OTT KPK terhadap aparat penegak hukum di peradilan. Keberhasilan KPK mengungkap praktik a-moral hakim membuat kita sedih. Sebenarnya Kenapa ? Karena kenyataan pemberantasan korupsi tidak membuat aparat menjadi jera. Koruptor seperti hakim ternyata tidak peduli dengan apa yang diderita rakyat dan negara untuk maju. Bahkan seperti marak layaknya menerima suap sebagai pemenuhan hidup dasar mereka. Akibatnya, korupsi di negeri ini semakin marak dimana mana.
Kata istilah Hakim yang disebut ‘wakil tuhan ‘ (hubungi Aku Kalau Ingin Menang), seperti sudah ‘membudaya’ bahkan pencari kedilan hapal istilah itu bahkan singkat KUHP dipelesetkan, ‘Kasih Uang Habis Perkara”, sudah makin berani menyuap untuk membeli putusan hakim. Karena kepanjangan makin melekat itu di sementara masyarakat yang mampu memberi putusan hakim. Sebaliknya orang miskin yang mencari keadilan akan sulit dan terpinggirkan kala berhadap dengan hakim. Putusan yang adil akan menjadi barang langkah jika sikap hakim yang amoral seperti itu terus dibiarkan.
Berdasar data yang dihimpun KY, OTT KPK terhadap hakim, panitera, atau pegawai lain yang bekerja di lembaga peradilan berulang setiap tahun.Bahkan, tahun 2016 terdapat 28 aparat pengadilan yang juga terkena OTT KPK. Berulangnya praktik curang di lembaga peradilan menunjukkan bahwa sistem pengawasan oleh MA belum berjalan dengan baik. KY juga mencatat, jumlah hakim di bawah koordinasi MA mencapai 7.600 orang. Mereka bertugas di 840 pengadilan. Selain hakim, MA punya tanggung jawab atas 22 ribu aparatur pengadilan.Ini dibutuhkan sistem pengawasan yang kuat untuk mereka.
Seorang hakim agung pernah berkata ke saya,jika ingin menilai hakim bacalah putusannya. Akan terlihat memihak atau tidak mencerminkan rasa kedilan tercermin dalam setiap putusan yang dibuatnya. Pengakapan terakhir ketua Pengadilan Menado tentu menambah deretan hakim a moral. Bahkan tentu saja publik terheran-heran, mengutuk tindakan hakim dan wakil rakyat tersebut. Mereka semakin yakin bahwa ternyata masih ada hakim yang ‘memperjualbelikan’ hukum dan keadilan di negeri ini.
Keadilan tidak lagi bisa kita peroleh, jika hakim a moral makin marak korupsi.Adanya maklumat ketua Mahkamah Agung belum ini seperti tidak diiraukan. Seharusnya para penegak hukum menjadi teladan dalam penegakan hukum di Indonesia. Dia harus bersih dan anti suap. Nyatanya dalam situasi saat ini masih ada transaksi penyuapan.
Negara ini dirusak oleh oknum-oknum hakim tak bermoral. Bagaimana masyarakat mendapatkan haknya dengan fair kalau masih banyak oknum hakim yang bisa dibeli? Kalau seperti ini yang berlaku, tentu “keadilan” di pengadilan hanya milik orang-orang yang berduit dan berkuasa. Kurangnya kesejahteraan hakim yang mulia itu tidak mutlak bisa menjadi penyebab seseorang melakukan korupsi. Karena orang yang sudah kaya-raya pun ternyata juga masih banyak yang korupsi.
Mahkamah Agung perlu melakukan penilaian ulang terhadap seluruh ketua pengadilan sebagai ujung tombak pengawasan di pengadilan.Apalagi ketua Pengadilan merupakan sosok yang berintegritas terhormat bagi rakyat pencari keadilan.Dengan penangkapan hakim dan panitera tersebut bisa dikatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah mencapai titik nadir. Hakim yang seharusnya menjadi tulang punggung penegakan hukum penjaga keadilan, malah justru bertindak sebaliknya. Langkah tegas KPK harus terus didukung membersihkan hakim yang meruntuhkan wibawa peradilan itu.(Penulis mantan Pengurus PWI Pusat)