JAKARTA-(TERBITTOP.COM)-Pelantikan sembilan pejabat eselon I oleh Jaksa Agung HM Prasetyo SH MH diharapkan mampu mengoptimalkan kinerja kejaksaan dalam penegakan hukum serta program Nawacita pemerintahan Jokowi, juga diharapkan mengangkat inovasi dan prestasi lembaga ini yang dinilai masih minim.
“Dalam perjalanan selama reformasi atau sejak terjadi perubahan UU Kejaksaan tahun 2004 hingga sekarang, kita belum melihat lembaga yang mengkhususkan diri dalam bidang penuntutan perkara pidana ini mengukir prestasi besar secara kontinue atau berkesinambungan. Padahal secara struktur, fungsional dan personalia Kejaksaan ini memiliki perangkat organisasi dan personalia yang jangkauannya sangat luas hingga kejari dan bahkan cabang kejari,” kata Koordinator TPDI/PAP-KPK Petrus Selestinus SH dalam wawancara khusus dengan Koran TERBITTOP menanggapi pelantikan pejabat baru Wakil Jaksa Agung,Jaksa Agung Muda,Kaban Diklat dan Staf Ahli Jaksa Agung pekan lalu.
Sejak reformasi lanjut Petrus kita sudah punya banyak Jaksa Agung punya lembaga pendidikan khusus di Ragunan/Diklat Kejagung akan tetapi lembaga ini sepertinya sangat minim prestasi, sangat minim melahirkan jaksa-jaksa yang fenomenal, berani, cerdas dan memiliki nama besar.
“Seperti ketika era Orde Baru dimana khusus daerah tertentu seperti di Jakarta seorang Kajati harus diambil dari seorang Jaksa yang betul-betul berani, pintar dan punya karakter yang menunjukan identitas sebagai seorang leader yang bertugas di bidang penuntutan,”ungkap Petrus.
Di era pemerintahan Jokowi dengan program Nawacita, Kejaksaan Agung seharusnya lanjutnya bisa menjadi pionir dalam pembaharuan hukum, baik menciptakan Jaksa-Jaksa yang brilian dan berani dalam melakukan terobosan hukum maupun dalam menindak Jaksa-Jaksa nakal dan minim prestasi yang tersebar di seluruh Indonesia, namun kenyataannya Kejaksaan tetap konvensional.
“Jaksa Agung Prasetyo belum memperlihatkan keberanian secara total untuk mengubah penampilan Kejaksaan yang sejalan dengan visi Nawacita Jokowi. Contoh paling sederhana adalah dalam melakukan mutasi dan promosi yang terjadi pada tanggal 15 November 2017, dimana tidak ada penempatan sosok Jaksa yang hebat untuk jabatan-jabatan strategis,”paparnya.
Lebih jauh dia mengatakan dalam suasana kebatinan yang sejalan visi Kejaksaan, sosok yang gagah, berani mengambil terobosan dan cerdas hampir tidak muncul di era reformasi kecuali kita hanya pernah punya Bahruddin Lopa setelah itu nyaris tak terdengar. Padahal selain Kejaksaan mengemban misi sebagai salah satu pelaksana kekuasaan Kehakiman di bidang Penuntutan, dia juga mengemban misi melakukan Penyidikan di bidang tindak pidana khusus, namun kenyataannya Kejaksaan minim prestasi dan miskin inovasi sehingga tenggelam dalam menjawab kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi.
Jabatan Tehnis,
Sebelumnya Jaksa Agung HM Presetyo SH telah menepis pernyataan MAKI (Msyarakat Anti Korupsi Indonesia) yang menyoroti pengangkatan para pejabat eselon I tersebut tanpa melalui panitia seleksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2017.
Ketua MAKI Buyamin Soiman mengatakan sangat kuatir dengan pengisian jabatan tersebut tanpa Pansel ini maka kedepannya tidak akan memajukan Kejagung khususnya penyelenggaraan birokrasi Kejagung yg bersih bebas KKN.
Namun HM Prasetio mengatakan pengangkatan jaksa pada pada posisi strategis di Kejaksaan sangat berbeda dengan formasi di Kementerian atau lembaga lain, karena lembaga ini adalah pekerjaan bersipat tehnis.
“Kejaksaan sangat tehnis tidak mungkin dilakukan open biding, seperti lembaga lain.Kami ingin mendapatkan kader yang baik jangan dipersoalkan sudah ada proses dan ada TPA (Penilaian Akhir-red), dan sudah persetujuan dari Presiden,”ujar Prasetyo menjawab wartawan. Di berharap dengan telah dilantiknya pejaat eselon I tersebut akan dapat meningkatkan prestasi bagi lembaga ini dalam penegakan hukum kedepan.
Dia juga meminta masing-masing pejabat yang baru dilantik segera akan bekerja dengan baik serta memahami tugas fungsi dan kedudukannya.
“Dengan lengkapnya seluruh jabatan di lingkungan kejaksaan itu, tentunya diharapkan kinerja kita semakin ditingkatkan,” kata dia.
Menurut Prasetyo, saat ini penanganan hukum bukan hal yang mudah atau ringan, namun semakin pelik dan berliku mengingat semakin banyaknya varian-varian baru tindak pidana korupsi.
Prilaku Aparat,
Menurut Petrus sejak reformasi hingga sekarang, Kejaksaan Agung belum berhasil mereformasi institusi dan perilaku aparatnya, kecuali hanya merubah UU Kejaksaan No.5 Tahun 1991 diubah menjadi UU No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI, sebagai salah satu badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman menurut UUD 1945. Perubahan UU Kejaksaan RI dimaksudkan untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai Lembaga Pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan yang harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun.
“Seharusnya ketika banyak pihak mulai menggunjingkan keberadaan KPK dengan kekuasaan yang besar seolah-olah tanpa kontrol, keberadaan JPU di KPK dll., maka lembaga yang paling tepat untuk tampil sebagai solusi alternatif menjawab kersauan publik adalah Kejaksaan bukan Polisi,” tegas Petrus.
Namun yang terjadi lanjutnya, justru Polri menggagas Densus Tipikor dengan konsep dan anggaran yang lengkap kemudian melakukan uji publik, meskipun kemudian banyak pihak menolak antara lain karena Polri tidak punya aparat Penuntutan seperti Jaksa.
“Nah Kejaksaan lebih tepat punya Densus Tipikor atau ambilalih konsep Densus Tipikor karena di bidang Pidana Khusus Kejaksaan berwenang menyidik dan menuntut sekaligus. Namun apa yang terjadi, Kejaksaan atau Jaksa Agung membisu hanya menjadi penonton pasif tanpa inovasi dan nyali untuk beradu konsep,”papar Petrus.
Dia menilai Jaksa Agung tidak perlu berpikir jauh2 dengan anggaran yang besar tetapi cukup ciptakan iklim kerja dengan pilihan jaksa-jaksa gila/berani, dudukan mereka di Kejati DKI beri mereka wewenang yang leluasa, kurangi intervensi, jadikan sebagai KPK mini versi Kejaksaan.
“Mari kita adu kerja atau bermitra dengan KPK berantas korupsi, saling melengkapi dan bersinerji, karena korupsi yang terjadi di daerah selalu melibatkan bos-bos di Jakarta,Kejaksaan punya aparat di daerah, KPK tidak punya,”ujarnya seraya menambahkan semua ini tergantung Jaksa Agungnya.(haris)