LEMBAGA KEJAKSAAN kembali tercoreng setelah terjadi dua kali OTT (Operasi Tangkap Tangan) wilayah kerja Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dan Bengkulu. Tertangkapnya Kejari Pamakesan Rudi Indra Prasetya oleh KPK dalam operasi tangkap tangan pada Rabu, 2 Agustus 2017,selang tiga bulan kemudian mantan Kasi Datun Kepulauan Riau M Syafei digaruk karena melakukan dugaan penyelewengan dana Pemkot Batam sebesar Rp51 miliar bersama oknum Pengacara M Nasihan SH. Kasus jaksa M Syafei ini disidangkan di Pengadilan Tipikor Tanjung Pinang.
Di Kalimantan Timur juga dilakukan penindakan terhadap 5 Jaksa diantaranya Aspidsus,Tatang Agus Volleyantoro diduga melakukan penipuan dengan meminta uang sebesar Rp150 juta telah dicopot dari jabatan.Sebelumnya Kajari dan Kasi Pidsus serta Kasi Intel Samarinda,Retno Harjantari Iriana,Darwis Burhansyah daan Bramantyo dicopot dari menjadi jaksa fungsional.Kajari Bontang Budi Setyadi dicopot karena dugaan menerima imbalan Rp250 juta dalam menangani perkara dana Hibah Koni Bontang 2015 senilai Rp5,6 miliar.
Sebelumnya juga jaksa di kejati Jawa Timur jaksa AF juga diciduk petugas Satber Pungli karena menerima uang suap sebesar Rp1,5 miliar. Uang suap itu berhasil diamankan dari rumah kontrakan AF di sekitar kantor Kejati Jatim pada (23/11). Belum lama lagi kasus yang menimpa sejumlah jaksa di Kejaksaan Tingi Menado beberapa waktu lalu. Deretan kasus itu semakin menambah pukulan bagi lembaga kejaksaan yang sedang membangun publik trust sampai akhir tahun 2017.Langkah tegas itu sebagai langkah ‘bersih bersih’ oleh Kejaksaan.
Pada Rakernas Kejaksaan di Badiklat Jaksa Agung HM Prsetyo mengungkapkan selama Januari-November 2017,telah menjatuhkan hukuman berat,ringan dan sedang kepada 207 jaksa dan 102 Tata Usaha.Jika dibandingkan dengan penjatuhan disiplin Januari-Desember 2016 sebanyak 167 orang,mengalami peningkatan sebanyak 54,04 persen. Hampir semua kasus yang menyeret jaksa adalah terlibat menerima ‘suap’. Penangkapan Jaksa oleh KPK merupakan upaya untuk menertibkan kejaksaan dari oknum yang merugikan instansi tersebut. Apa yang dilakukan KPK sebenarnya sudah sejalan dengan visi kejaksaan untuk bersih-bersih yang bertujuan menegakan Martabat Penuntut Umum.
Dengan berbagai peristiwa itu hemat saya selayaknya kejaksaan perlu menyiapkan instrumen untuk memonitor perilaku jaksa. Perlu dipertajam lagi IPKJ (instrumen penilaian kinerja jaksa). Dalam IPKJ, seorang jaksa diobservasi dan mengobservasi dirinya sendiri. Harus dipertajam juga profile assessment terhadap calon- calon kepala kejaksaan negeri. Kita tahu Pengawasan juga memiliki rekam jejak jaksa selama menjadi pegawai.
Selama ini sistem pengawasan di daerah itu seperti ‘antara ada dan tiada’. Seperti tidak berfungsi sebagai satu lembaga pengawasan.Pengawasan internal Kejaksaan terbagi menjadi dua, yakni pengawasan melekat (waskat) dan pengawasan fungsional (wasnal). Namun sampai kini sistem pengawasan tersebut kurang berjalan efektif. Padahal kita tahu Reformasi ketentuan-ketentuan yang ada di pengawasan, yang sudah berhasil dengan lahirnya enam peraturan Jaksa Agung pada Hari Bhakti Adhyaksa tahun 2007 diluncurkan. Setelah itu, ditindaklanjuti dengan action plan, antara lain dengan tahap implementasinya, namun belum maksimal berjalan.
Karena itu hemat saya Kejaksaan agung harus mengusut dan mencari akar masalah yang lebih mendasar. Pada situasi demikian masih ada kejadian serupa berulang ulang ketangkap, kan kelewatan sekali. Kejaksaan harus mencari format yang lebih efisien dan lebih efektif serta mencari titik lemahnya. Terlalu berani kalau sampai terjadi lagi berulang kembali dan memalukan sehingga dinilai waskatnya tumpul.
PARADIGMA BARU PENGAWASAN,
Stigma negatif masyarakat terhadap kredibiltas kejaksaan tersebut tidak boleh dibiarkan berlanjut dan untuk itu harus dilakukan upaya pemulihan kembali,salah satunya melalui peningkatan integritas aparaturnya. Menurut hemat saya,jajaran pengawasan sama halnya dengan seorang pengembala domba, adakalanya bersikap lembut, tetapi tidak segan segan harus bertindak tegas agar integritas aparatur kejaksaan dapat terjaga. Meningkatnya pemberian hukuman disiplin terhadap Jaksa dan Pegawai Tata Usaha, bukanlah suatu keberhasilan fungsi pengawasan, jutsru itu menunjukkan kelemahan fungsi pengawasan baik fungsional maupun melekat itu sendiri.
Di lingkungan Kejaksaan aturan main yang menata perilaku agar para pegawainya patuh, taat dan tunduk pada ketentuan yang digariskan oleh undang-undang, peraturan pemerintah maupun kebijakan internal Jaksa Agung RI, sudah komplit dan detil sekali. UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, PP 30 Tahun 1980 yang kini berubah menjadi PP 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Sipil, Kode Etik Perilaku Jaksa (PERJA-014/A /JA/11/2012 tanggal 13 Nopember 2012), Penyelenggaraan Pengawasan Kejaksaan Republik Indonesia berdasar PERJA RI Nomor: PER-022/A/JA/03/2011 tanggal 01 April 2011.
Tetapi dalam pelaksanaan peran ini untuk mencegah pelaksanaan tugas dan wewenang yang tidak sesuai dengan jalan komitmen belum diimplementasikan dengan optimal, yaitu memberdayakan pengawasan melekat dan fungsional sebagai suatu kekuatan kontrol yang bertujuan mengangkat martabat penuntut umum. Oleh karena itu seiring dengan bergulirnya reformasi biokrasi yang berorientasi kepada sebuah paradigma baru pengawasan,maka kejaksaan harus melakukan perbaikan dan pembenahan internal menyangkut kualitas, tidak saja terhadap pola pikir,pola kerja dan tata laku,tetapi juga ketatalaksanaan yang menjadi bagian peningkatan kualitas kelembagaan. Langka itu harus transparan,akuntabel,futuristik, realistik, inovatif terukur,efektif,efisien dan konsisten guna mewujudkan kinerja yang lebih transparan, profesional dan akuntabel serta menerapkan tata kelola kinerja yang baik.
Mungkin bisa dilakukan penyempurnaan kembali atau revisi terhadap peraturan dan kegiatan yang mendukung paradigma baru pengawasan, seperti menyempurnakan Instrumen Penilaian Kinerja Jaksa berserta juknisnya, menyempurnakan lagi instrumen Penilaian kinerja pejabat Pengawasan, standarisasi penjatuhan hukuman yakni penyusunan tolak ukur penjatuhan disiplin yang sulit dilakukan karena bersipat kasuitis lebih dilakukan penguatan serta memberikan penguatan kewenangan terhadap jajaran pengawasan untuk melakukan eksaminasi khusus yang cepat dan tegas tidak saja hanya penjatuhan hukum yang memberi efek jera tetapi mendorong berjalan kinerja yang positif untuk menjauhi sikap koruptif.
Masih ada kontrol internal juga ada kontrol ekternal, yang dilakukan Komisi Kejaksaan, namun peran Komisi ini belumlah sepenuhnya karena baru bisa mengambil alih setelah pemeriksaan optimal dilakukan aparat pengawas internal kejaksaan, termasuk peran organisasi Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) serta Kode Etik. Walaupun dari sisi kewenangan Komisi kejaksaan yang mendapat perhatian adalah menyangkut usulan pembentukan Majelis Kode Prilaku Jaksa Majelis Kehormatan Jaksa sebagaimana PP No 20 Tahun 2008,namun peran melakukan eksekusi lebih belum diatur perannya masih terbatas.
Jaksa Agung HM Prasetyo SH berusaha melakukan perubahan,terlihat ada pembenahan kinerja untuk jajaran kejaksaan di dalam memperbaiki citra di mata masyarakat (public trust).Kemudian pembentukan Tim Satgasus Tipikor telah menjadi icon kebanggaan untuk menunjukkan kinerja dalam pemberantasan korupsi dan membentuk Tim Satber Pungli. Namun tugas jaksa bukan disitu saja, perbaikan mental dan kultur dari SDM kejaksaan menjadi masalah serius yang harus dibenahi. “Mental jaksa yang nakal menjadi jaksa tidak nakal”,sebutan yang sederhana namun tidaklah mudah untuk merubahnya.
Kemudian langkah pembentukan TP4 (Tim Pengawal, Pengamanan Pemerintahan, dan Pembangunan) telah menjadi harapan masyarakat, karena melalui TP4 aparat Kejaksaan telah mengawal semua dana pembangunan.TP4 yang telah dibentuk dan telah berjalan di seluruh Kejaksaan Tinggi difokuskan pada ranah pencegahan, semisal penyimpangan atau penyelewengan anggaran. Ditengah maraknya tindak pidana korupsi di daerah, maka sudah saatnya Kejaksaan melakukan optimalisasi pengawasan melalui paradigma baru yang terintegrasi dengan membangun kualitas jaksa melalui peran pengawasan disemua lini.
Terlepas dari keberhasilan Kejaksaan R.I. yang cukup signifikan, jauh lebih besar capaian tingkat penanganan dan penyelesian perkara penyelamatan aset keuangan negara, jika dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh jajaran Penyidik POLRI maupun KPK,namun bidang pengawasan menjadi ujung tombak dalam menegakan martabat jaksa penuntut umum secara optimal dan bisa mengubah diri insan Adhyaksa menjadibud bisagak agen perubahan.(Penulis: Haris Fadillah adalah mantan Pengurus PWI Pusat dan Pelindung/Penasehat Forwaka (Forum Wartawan) Kejaksaan Agung).