Kejaksaan RI kini benar benar sedang dirundung duka tidak saja kejadian kasus terbakarnya gedung utama namun adanya prilaku sejumlah oknum jaksa yang menyimpang terlibat kasus suap terkait permohonan fatwa ke MA untuk membebaskan buronan Joko Tjandra.
Tahun lalu kasus OTT KPK terjadi di Kejati DKI dan kasus mantan Aspidsus Kejati Jateng. Tahun ini kasus Jaksa Pinangki dan sejumlah Jendral Polisi dan rekannya Pengacara Anita Kolopaking harus diproses hukum karena dugaan menerima suap.
Publik menyorot dan sinis melihat ulah penegak hukum dalam kasus Joko Tjandra ini. Lembaga kepolisian maupun Kejaksaan dipermalukan oknum aparatnya.
Perbuatan Jaksa Pinangki tentu menambah deretan panjang prilaku oknum jaksa nakal.Belum lagi kasus yang terjadi di Riau sejumlah Jaksa diantaranya Kajari Inhu (Indragiri Ulu) dan dua jaksa jadi tersangka dan ditahan.
Ketiga dijatuhi hukuman disiplin berat yakni dicopot dari jabatan struktural karena dugaan pemerasan. Sementara di Bali tersangka kasus korupsi mau ditahan malah bunuh diri di WC Gedung Kejaksaan Tinggi.
Pemberitaan isu suap jaksa juga sempat diungkap dalam persidangan Tipikor namun kemudian kesaksian asisten pribadi mantan Menpora Imam Nahrawi yakni Miftahul Ulum terhadap mantan Jampidsus Adhi Toegarisman yang disebut menerima uang suap senilai Rp7 miliar, namun ini kemudian dibantah oleh AdiToegarisman.
Banyak lagi sootan kasus yang menerpa oknum jaksa dan telah dikenakan sanksi.Seperti tidak habis habisnya seleksi alam memberi cobaan berat kepada insan Adhyaksa dalam melaksanakan tugasnya.
Entah harus bagaimana caranya meningkatkan kesadaran dan moral dari insan penegak hukum yang berada di garda terdepan penegakan hukum.
Sebagai negara hukum, undang undang menentukan peran dan posisi Koprs Adhyaksa ini sebagai bagian tak terpisahkan dari criminal justice system.
Publik masih bertanya tanya mampukah lembaga ini mempertahankan predikat yang sudah disandang WBK dan WBBM.
Hemat penulis selayaknya kejaksaan perlu mempersiapkan instrumen untuk memonitor prilaku jaksa. Jaksa Agung Muda Pengawasan harus ‘strong’ membangun kinerja pengawasan di lembaga ini.
Jika perlu dibentuk “Satgas Tindak Jaksa” yang turun ke kejati/kejari secara periodik dan rutin dalam menangani laporan masyarakat.
Sebab stigma negatif masyarakat terhadap kredibilitas kejaksaan tidak boleh dibiarkan berlarut larut dan untuk itu diperlukan upaya untuk pemulihan kembali salah satunya melalui peningkatan integritas aparaturnya.
Ada penyidikan oknum jaksa oleh jaksa ditahan diproses dan disidangkan jaksa karena menyimpang merupakan upaya lembaga ini untuk menertibkan kejaksaan dari oknum yang merugikan instansi kejaksaan sendiri, dalam rangka membersihkan kedalam internal.
Point saya disini sistem pengawasan di setiap kejati,kejari dan bidang yang ada selama ini ada tetapi seperti ‘tiada’. Seperti tidak efektif berfungsi sebagai satu lembaga pengawasan, baik pengawasan melekat (waskat) ataupun pengawasan fungsional (wasnal).
Tiga Kementerian,
Skandal pengurusan fatwa Mahamah Agung untuk menunda eksekusi Joko Tjandra sangat merusak wajah penegakan hukum. Kasus ini mirif seperti terjadi dalam perkara Sudjiono Timan yang saat itu mendapatkan pembebasan murni melalui PK padahal pengemplang BLBI ini dihukum 15 tahun penjara dalam perkara korupsi dengan kerugian sebesar Rp 1,2 triliun.
Bayangkan skandal Joko Tjandra melibatkan tiga kementerian dan dua instansi penegak hukum Kepolisian dan Kejaksaan. Jaksa Pinangki sangat luar biasa, dia tidak menunjukkan ‘jati dirinya jaksa dan penuntut umum yang tugasnya harus membuktikan sebuah dakwaan dan mengeksekusi jika sebuah putusan namun kebalikannya dia mau meringankan bahkan membebaskan Joko Tjandra melalui pengurusan fatwa ke MA, padahal Joko Tjandra adalah buronan yang sedang dicari Kejaksaan.
Andaikata saja Jaksa Pinangki dijadikan mata dan telinga intelijen kejaksaan saat bertemu dengan Joko Tjandra dalam rangka meminta buronan ini kembali ke Indonesia untuk dieksekusi mungkin kasusnya menjadi lain.Pasalnya Jaksa ini menerima uang suap dari Joko Tjandra.
Potret buruk kelakukan oknum Jaksa ini membuat lembaga kejaksaan menjadi tercoreng. Walau Jaksa Agung ST Burhanudin SH telah mencopot Jam Intel Jan Maringka.
Berulang ulangnya oknum jaksa kena OTT dan serta jadi tersangka ini menunjukkan pengawasan masih lemah dan belum simultan berjalan serta memberi sanksi yang belum membuat efek jera.
Padahal kita tahu reformasi ketentuan yang ada di pengawasan, yang sudah berhasil dengan lahirnya enam peraturan Jaksa Agung pada Hari Bhakti Adhyaksa sejak tahun 2007 diluncurkan.
Setelah itu dilakukan penataan dan revisi berbagai upaya dan action plan serta tahap implementasinya namun hingga kini belum maksimal berjalan.
Karena itu hemat penulis kejaksaan harus mengusut dan mencari akar masalah yang lebih mendasar.
Pada situasi yang hampir semua satuan kerja bekerja keras membangun zona integritas WBK dan WBBM harus mencari titik lemahnya membuat format yang efisien dan lebih efektif harus berani mengganti pejabat dari atas hingga kebawah karena sangat memalukan sehingga dinilai waskatnya tumpul.
Perlu dipertajam lagi IPKJ (Instrumen Penilaian Kinerja Jaksa )termasuk melakukan penajaman profile assesment terhadap calon Kepala Kejaksaan Negeri serta bagian posisi jabatan penting yang ada.
Meningkatnya pemberian hukuman disiplin terhadap jaksa dan pegawai tata usaha, bukanlah suatu keberhasilan fungsi pengawasan, justru itu menunjukkan kelemahan fungsi pengawasan yang ada.
Penjatuhan hukuman disiplin selayaknya tidak terjadi diskriminasi dan pimpinan tidak menjadi bagian dalam kesalahan bawahan.
Kekuatan Kontrol,
Seperti diketahui dilingkungan Kejaksaan sudah aturan main yang menata prilaku agar para pegawainya patuh, taat dan tunduk pada ketentuan yang digariskan oleh undang undang, peraturan pemerintah maupun kebijakan internal Jaksa Agung RI sudah komplit dan detail sekali.
UU No 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan UU No 8 Tahun 1974 tentng Pokok Pokok Kepegawaian, PP 30 Tahun 1980 yang berubah menjadi PP 53 Tahun 2010 tentang disiplin Pegawai Sipil, Kode Etik Prilaku Jaksa (Perja 014/A/JA/11/2012 tanggal 13 November 2012) serta Perja dalam melaksanakan pengawasan.
Namun peran ini belum diimplementasikan secara optimal sebagai suatu kekuatan kontrol yang bertujuan mengangkat martabat penuntut umum untuk menjauhkan sikap koruptif.
Yang menjadi persoalan mendasar adalah perbaikan mental dan kultur SDM Kejaksaan menjadi masalah serius yang harus dibenahi.
Merubah “Mental Jaksa Nakal menjadi Jaksa Tidak Nakal”, adalah sebutan yang sederhana namun tidaklah mudah untuk mengubahnya.
Kelemahan yang menonjol dalam prilaku oknum jaksa nakal karena sikap mementingkan diri sendiri yang lebih besar.
Reformasi yang berjalan di kejaksaan dengan tujuh kebijakan Jaksa agung itu merupakan suatu proses yang komprehensif dan digerakkan secara konsisten oleh suatu ‘mesin perubahan’ dengan wewenang dan kendali yang jelas dan akuntabel.
Publik tentu menunggu langkah nyata setelah diumumkannya tekad yang tinggi dengan tujuh kebijakan serta kesiapan dari aparatur kejaksaan untuk mulai melaksanakan program-program besarnya itu.
Keberhasilan kejaksaan yang sekarang sudah sifnifikan baik dibidang Intelijen, Datun, Pidum, Pembinaan dan Pidsus harus dijadikan tolak ukur bahwa insan adhiyaksa mampu bangkit kembali membangun pecegahan untuk menuju perubahan kejaksaan yang lebih baik.
Apalagi sudah ada satuan kerja telah berhasil mencapai predikat WBK (Wilayah Bebas Korupsi) bahkan meraih WBBM (Wilayah Birokrasi Bersih Melayani).
Reponsif serta peka terhadap pelayanan publik harus dibangkitkan seiring optimalisasi kinerja semua satuan selain meningkatkan kredibiltas dan integritas yang tangguh dengan memupuk dan mengembangkan prilaku yang terpuji dan teladan.
Kekuatan kontrol inilah yang lemah dan harus dibangun kembali di semua lini jajaran yang ada.
Hemat penulis meningkatkan fungsi pengawasan yang tidak saja berorientasi kepada penindakan tetapi juga kepada pencegahan agar dapat memberi efek jera (deferrent effect) tetapi juga daya tangkal (preventic effect) yang kesemua transparan,futuristik, akuntabel, realistik, inovatif,efisien dan efektif serta konsisten,sehingga dapat mengubah pola laku, pola kerja dan pola pikir aparat kejaksaan.
Kedepan langkah ini bukanlah menjadi isapan jempol atau menjadi pajangan yang akhirnya dibuang sebagai sampah.
Karena itu saya yakin sudah mengenal dekat lebih dari 27 tahun dengan insan Adhyaksa mereka akan mampu bangkit kembali setelah diterpa badai masalah ini serta mendapatkan kepercayaan dari masyarakat kembali.
Revisi UU
Ditengah hiruk pikuk kasus Pinangki kejaksaan sedang melangkah untuk mengamandeman UU Kejaksaan. Publik tentu berharap agar revisi UU Kejaksaan No 16 Thn 2004 dengan segala polemik yang terjadi akan memperkuat penegakan hukum kedepan juga bisa membuat kejaksaan lebih independen, profesional dan berhati nurani.
Pengajuan RUU Kejaksaan akan menjadi energi baru lembaga ini untuk melangkah kedepan dan membangun publik trust.
Apalagi semua fraksi intinya tidak keberatan untuk diproses lebih lanjut.Kelak tentu akan ada banyak perubahan di tubuh Korp Adhyaksa bila revisi aturan ini disahkan.
Banyak perubahan masif yang tertulis dalam Draf RUU Kejaksaan mulai dari tugas dan wewenang jaksa hingga unsur unsur yang kelak dapat mengisi posisi jabatan di Kejaksaan.
Jaksa tidak akan kebal hukum sebab dalam Draff UU disebutkan jaksa diberhentikan tidak dengan hormat bila dihukum penjara paling singkat dua tahun.
Padahal dalam UU sebelumnya tidak disebutkan syarat minimal lama pidana bagi jaksa untuk diberhentikan tidak dengan hormat.
Kedepan tugas Jaksa Agung ST Burhanuddin cukup berat adalah merebut kembali citra dan apresiasi masyarakat dalam melewati badai ini untuk mengembalikan marwah lembaga.
Sebagai anak zaman insan Adhyaksa akan mampu bangkit kembali
‘Jadikanlah Slogan Adhyaksa Bangkit’ sebagai haluan agar terlepas dari badai menuju perubahan lebih baik.(Penulis : haris fadillah mantan Pengurus PWI Pusat)