JAKARTA – (TERBITTOP.COM)-Jaksa Agung ST Burhanuddin meminta Aparat Penegak Hukum (APH) perlu menyesuaikan orientasi penegakan hukum yang selama ini dilakukan, dimana tidak hanya mengejar dan kemudian menghukum pelaku secara konvensional dengan cara menerapkan pidana penjara melalui pendekatan follow the suspect semata, melainkan juga penindakan diarahkan pada pendekatan follow the money dan follow the asset.
Jaksa Agung ST Burhannudin SH menuturkan kebijakan penegakan hukum wajib memastikan bahwa hukuman haruslah dapat memberikan deterrent effect baik di sektor pidananya dan juga disektor perekonomian pelaku.
“Melalui pendekatan tersebut, setidak-tidaknya terdapat dua hal positif yang dapat kita peroleh,” tegas ST Burhanuddin SH saat menyampaikan sambutan dalam acara penyerahan barang hasil rampasan negara dari Kementerian Keuangan kepada Kejaksaan RI, Selasa (24/11).
Dia melanjutkan pertama instrumen perampasan aset ingin memberikan pesan yang kuat kepada para pelaku, bahwa sesungguhnya melakukan kejahatan korupsi adalah merupakan perbuatan yang tidak memberikan keuntungan atau nilai tambah finansial (crime does not pay), melainkan justru memiskinkan dan menimbulkan kesengsaraan bagi si pelaku.
Kedua, keberadaan benda sitaan, barang rampasan dan benda sita eksekusi sebagai aset kata Jaksa Agung pada akhirnya akan dipandang sebagai sesuatu yang penting karena merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat terpisahkan dari penanganan dan penyelesaian suatu perkara pidana.
“Dengan sudut pandang tersebut diharapkan dapat menginisiasi munculnya upaya semaksimal mungkin dan terintegrasi secara baik di setiap tahapan penegakan hukum, agar menjaga dan mempertahankan nilai aset yang berasal dan ada kaitannya dengan tindak pidana tidak berkurang, sehingga aset tersebut dapat segera dipergunakan dan dimanfaatkan dengan baik dan dapat menghadirkan keadilan ekonomi,” jelas ST Burhanuddin.
Jika sebelumnya menggunakan pendekatan mengejar dan menghukum pelaku melalui pidana penjara (follow the suspect), maka sekarang orientasinya harus dibarengi dengan pendekatan follow the money dan follow the asset.
Pendekatan Ekonomi,
Burhanuddin melanjutkan, pentingnya menggabungkan pendekatan pidana dengan pendekatan ekonomi karena pelaku white collar crime memiliki rasio yang tinggi.
” Ini terlihat dari modus yang kian canggih dan terstruktur karena dicampur dengan teori-teori ilmu pengetahuan seperti akuntansi dan statistik,” kata Burhanuddin.
Kemudian jika diukur dari canggihnya modus operandi, kelas orang yang terlibat dan besaran dana yang dijarah, jelas korupsi merupakan kejahatan kelas tinggi yang sebenarnya dilatarbelakangi oleh prinsip yang keliru yaitu keserakahan itu indah (greedy is beautiful).
Para pelaku kejahatan korupsi, kata Jaksa Agung, mempertimbangkan antara biaya (cost) dan keuntungan (benefit) yang dihasilkan. Kalkulasi untung rugi tersebut bertujuan untuk menentukan dan memutuskan pilihan apakah “melakukan” atau “tidak melakukan” suatu kejahatan.
“Pilihan yang diambil para pelaku adalah ‘melakukan’ karena masih sangat menguntungkan. Tidak sedikit pelaku korupsi yang siap masuk penjara, namun ia dan keluarganya masih akan tetap hidup makmur dari hasil korupsi yang telah dilakukan,” papar Burhanuddin.
Dalam kesempatan itu, Jaksa Agung mengapresiasi Menteri Keuangan RI dan pimpinan KPK yang telah menyerahkan barang rampasan negara kepada institusi Kejaksaan.
Dua barang rampasan negara yang berasal dari KPK itu berupa 1 (satu) unit tanah dan bangunan yang terletak di Jakarta Selatan, dan 1 (satu) unit tanah dan bangunan yang terletak di Kabupaten Badung, Bali. Status hukum dua aset itu telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
“Ini wujud sinergi dan koordinasi lintas sektoral antara Kementerian Keuangan RI, KPK, dan Kejaksaan RI,” tutup Jaksa Agung ST Burhanuddin.(ris)