Penulis : Rony Chandra
Seteru panjang, bermuara dari gugat menggugat soal Kongres Luar Biasa (KLB) di Sibolangit, Sumatera Utara. Lalu meluas dengan uji materi atau Yudicial Riview (JR) AD-ART Partai Demokrat ke Mahkamah Agung (MA). Dan implikasi itu, berimbas hingga terhadap tarif Profesi Advocate.
Tontonan politik, belakangan ini muncul dan membelah konsentrasi berpikir masyarakat dalam cemas-cemas harap untuk siapa pemenang keadilan itu berbuah. Menggembirakan orang banyak kah, atau penegakan hukum adalah panglima.
KLB Demokrat versi Sibolangit, yang menobatkan Jenderal TNI (pur) Dr. Moeldoko, kini berada selaku Penggugat Menkumham RI di PTUN. Dengan materi gugatan Surat Keputusan (SK) Menkumham menolak azas KLB Demokrat di Sibolangit, Sumatera Utara yang berpedoman tetap keabsyahan SK Menkumham terhadap AD-ART dan Kepengurusan tahun 2020 Pimpinan Agus Harimurty Yudhoyono atau AHY.
Apakah SK yang dikeluarkan Menkumham itu, benar. Serta telah memenuhi unsur Azas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), maka dalam waktunya Para Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)-lah yang akan menguji dan memutus kebenaran hukum dalam mencermati sebuah tindakan atas keluarnya keputusan Pejabat Penyelenggara Negara. Apakah Menkumham telah menjalankan ketaatan hukum, sebagaimana amanat Undang-Undang.
Sisi lain, tidak hanya gugatan hukum di PTUN yang bergulir. Penyelenggaraan KLB Sibolangit itu, membawa dampak terhadap pemecatan berbagai kader Demokrat di Indonesia. Dan para kader yang terpecat ini merasa adanya sebuah kesewenang-wenangan yang offer compaident dalam AD-ART Partai Demokrat yang demikian terstruktur dan masif menyelimuti kepengurusan Demokrat Pimpinan AHY.
Mereka merasa ini merugikan kader yang telah berjuang berdarah-darah, baik secara moril maupun materiil dalam kebesaran Partai Demokrat. Untuk membuktikan itu kepada halayak, melalui pendamping Hukum provesional, mereka menyerahkan kepada Prof. Yusril Ihza Mahendra, selaku Kuasa Hukum, mengajukan gugatan Yudicial Riview (JR) ke Mahkamah Agung (MA). Perihal sebuah kewenangan absolut dalam feforma AD-ART Demokrat, sebagai produks UU di dalam UU Politik Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dalam UU Politik tahun 2011 tentang AD-ART Partai Politik.
Resfonpun bertaburan, dengan pengadilan media sosial (medsos) saling vonis. Baik dari petinggi Partai Demokrat sendiri maupun datang dari kalangan pengamat. Padahal ,’Gugatan JR AD-ART Demokrat ke MA itu, merupakan terobosan baru yang digelontorkan Yusril Ihza Mahendra selaku Profesor Hukum Tata Negara dalam pengujian UU Politik khusus AD-ART Parta Demokrat guna kepentingan klaennya.’
Pengujian itu, sah-sah saja dalam pengertian hukum politik. Atas sebuah produks UU. Analoginya, kita membuat sabun. Saat jadi dan kemudian dipasarkan, ternyata menimbulkan effek samping terhadap orang yang menggunakan. Yaitu, bercak gatal jika mengenai kulit. Producent, tentu akan melakukan kaji ulang. Sebab, ada yang salah dengan produks tersebut. Demikian halnya, soal polemik hukum JR AD-ART Demokrat ke MA. Perlu diuji ulang agar tidak menjadi preseden buruk untuk masyarakat dalam membuhakan produks UU Politik di Tanah Air. (Penulis : Pemimpin Redaksi Terbittop)