Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimuladi SH M.Hum sedang menjawab wartawan usai memberikan paparan. foto : Puspen kejati Jabar.
BANDUNG-(TERBITTOP)-Wakil Jaksa Agung RI Setia Untung Arimuladi SH mengungungkapkan ditempatkanya korporasi dalam subjek hukum tindak pidana human trafficking dapat memberikan harapan serta optimisme bagi upaya pengusutan dan pemberantasan tindak pidana human trafficking.
“Jaksa pun dapat berperan aktif untuk mengajukan tuntutan restitusi korban dalam kasus perdagangan orang.Hak korban yang menarik dan menjadi perhatian dalam UU PTPPO adalah hak korban atas restitusi,”ungkap Setia Untung Arimuladi SH saat mewakili Jaksa Agung menjadi nara sumber dalam rapat Nasional Satgas Sikat Sindikat BP2MI yang berlangsung di Hotel Interkontinental Bandung,Kamis (7/10).
Hadir pada kesempatan itu Kepala PPATK, Dian Ediana Rae,Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Benny Rhamdani dan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Dr. Asep N Mulyana.
Dikatakan restitusi merupakan gugatan yang bersifat perdata, namun dalam kasus perdagangan orang, ketentuan restitusi ditarik ke dalam ranah hukum pidana, sehingga jaksa selaku penuntut umum dapat mewakili korban mengajukan restitusi.
“Dasar hukum yang melandasi ketentuan ini dapat kita lihat dalam penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU PTPPO.Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa jaksa berperan untuk memberitahukan hak korban perdagangan orang untuk mengajukan restitusi,” tegasnya.
Selain itu lanjut Untung di persidangan, jaksa penuntut umum menyampaikan kerugian korban bersamaan dengan surat tuntutan pidana.
“Namun ketentuan dalam Pasal 48 ayat (1) UU PTPPO tersebut tidak menghilangkan hak korban untuk mengajukan sendiri gugatan atas kerugian yang diderita,”ujarnya.
Lebih jauh Untung mengatakan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdangan Orang (UU PTPPO) mengatur juga mengenai hak-hak korban perdagangan orang yang tercantum dalam Bab V Pasal 48–55 UU PTPPO.Hak-hak tersebut meliputi hak untuk memperoleh restitusi, rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial.
“Berkaitan dengan upaya untuk memberantas praktek perdangangan orang/ human human trafficking dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO), yang tidak hanya mengatur perdagangan orang terhadap perempuan dan anak yang rentan menjadi korban, tetapi terhadap siapapun yang menjadi korban perdagangan orang,” pungkasnya.
Dalam kesempatan tersebut Setia Untung menyatakan permasalahan yang sering dihadapi oleh para pekerja migran diantaranya, permasalahan dokumen kelengkapan biaya penempatan berlebih, overstay, gaji tidak dibayar, penganiayaan, pemerkosaan, bahkan terjadi perdagangan orang serta kasus pidana lainnya, dan mayoritas menimpa perempuan pekerja migran Indonesia.
“Kejahatan perdagangan orang kerap dijumpai bersinggungan dengan berbagai tindak pidana lainnya seperti pencucian uang dan korupsi,”ungkap Untung.
TINDAKAN KORPORASI
Dalam kaitanya itu dapat di contohkan misalnya adanya perusahaan yang mengirimkan Tenaga Kerja Indonesia secara Illegal dalam jumlah tertentu (besar) yang tanpa dan/atau diketahui oleh BP2TKI.
Dari tindakan korporasi tersebut Jelas Untung kemungkinan ada sejumlah pemasukan negara yang hilang, sehingga akhirnya justru menimbulkan potensi kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksud didalam UU Tipikor, selain itu gratifikasi atau suap juga mungkin terjadi dalam pelayanan publik dan dokumen, pengerahan surat izin pengerahan (SIP) dalam perekrutan TKI, dan lain sebagainya.
“Artinya subjek pelaku tindak pidana yang tidak lagi semata dilakukan oleh individu, melainkan oleh sindikat kejahatan serta korporasi yang terorganisir dan lintas negara (transnational organized crime),”jelasnya. Selain itu, dalam era globalisasi dan modern ini tidak menutup “kemungkinan kejahatan human trafficking dilakukan oleh korporasi.
Sementara di lain pihak sering sekali penyalur jasa TKI illegal menggunakan modus usaha baik berbentuk CV, PT ataupun lain lain untuk melancarkan niat jahat melakukan human trafficking (Hanim & Prakoso, 2015).
“Kewenangan untuk menjatuhkan sanksi kepada korporasi sudah diberikan secara eksplisit dalam rumusan Undang-Undang No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,” jelasnya lagi.
Sebagai upaya untuk menanggulangi tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan oleh korporasi, maka UU ini telah “mengatur mengenai manusia dan korporasi sebagai subjek hukum.
Dijelaskan menurut Pasal 55 UU PTPPO, hak saksi dan/atau korban juga meliputi hak saksi dan/atau korban yang diatur dalam peraturan perundang-undanganlain, seperti Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, KUHAP dan lain sebagainya.
Disini kata Untung yang mantan Kajati Jawa Barat ini Jaksa penuntut umum dapat menghitung kerugian materiil yang diderita korban dengan merinci kerugian berdasarkan ketentuan Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, yaitu:
1. Kehilangan kekayaan atau penghasilan;
2. Penderitaan;
3. Biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis dan/ atau
4. Kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.
Mengenai perhitungan kerugian immateriil, perhitungannya biasanya diakomodasikan atas permintaan korban yang disesuaikan dengan status korban/keluarga dalam masyarakat baik ditinjau dari segi ekonomi, sosial, budaya dan agama.
Selain itu, jaksa penuntut umum lanjutnya juga harus berkoordinasi dengan korban untuk menghitung kerugian yang diderita korban sebelum mengajukan restitusi ke pengadilan, atau setidak-tidaknya jaksa penuntut umum memberitahukan korban mengenai haknya untuk mengajukan restitusi sebagaimana yang ditentukan dalam penjelasan Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
“Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa.Karena Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan dan putusan pengadilan,” lata Untung menegaskan.
Dengan begitu Kejaksaan adalah sebagai pengendali proses perkara (dominus litis), karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus/perkara dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana.
Untung mengatakan pada tahun 2021 saat ini, Kejaksaan telah membentuk Kelompok Kerja Akses Keadilan Kejaksaan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung Nomor 166 Tahun 2021 tanggal 9 Juli 2021 bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional tanggal 8 Maret 2021 diluncurkan Pedoman No. 1 Tahun 2021 Tentang Akses Terhadap Keadilan Bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana.
“Pembentukan kelompok kerja akses keadilan bertujuan untuk optimalisasi pemenuhan akses keadilan bagi perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum, baik sebagai pelaku, korban dan saksi dalam penanganan perkara pidana, dengan ruang lingkup penanganan pidana yang melibatkan perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum pada tahap penyelidikan, penyidikan, prapenuntutan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,” pungkas Untung.(ris)