Berita tuntutan ringan Jaksa Penuntut Umum di Kejari Negeri Lahat Provinsi Sumatera Selatan menjadi viral di media medsos dan onlene dalam dua pekan terakhir. Apalagi setelah Kejaksaan Agung melalui Jampidum memberikan reaksi dan menyampaikan hasil eksaminasi terhadap Jaksa dan pejabat struktural di Kejaksaan Negeri setempat.
Seperti petir di siang bolong kita dibuat terperangah membaca berita ini.
“Arang mencoreng dahi jaksa lagi,”.pikirku.
Kalaupun benar kejadian di Pringsewu Lampung dimana jaksa diamankan Tim SDO dan begitu juga adanya jaksa tidak profesional dalam meneliti berkas kasus kejahatan seksual dengan tuntutan yang ringan di Lahat tentu kesemua telah mencoreng muka korp adhiyaksa yang sudah baik dewasa ini.
Walaupun masing masing perbuatan Jaksa berbeda beda. Tapi Jaksa itu adalah satu tak terpisahkan sehingga satu berbuat ibaratnya pepatah rusak susu sebelangalah menanggung akibatnya.
Dalam berbagai kesempatan Jaksa Agung selalu menekankan profesionalisme dan menjaga integritas.Bahkan dalam Rakernas di Hotel Sultan diingatkan lagi komitmen tersebut.
Kejaksaan Agung (Kejagung), telah mengambil tindakan tegas terhadap Kajari Lahat, dan sejumlah anak buahnya atas penanganan perkara kekerasan seksual yang dilakukan dua remaja terhadap siswi SMP.
Adapun yang jadi sorotan atas penanganan itu yakni, rendahnya tuntutan yang dilayangkan oleh pihak Kejari Lahat terhadap dua terdakwa kasus kejahatan seksual.
Kejari Lahat hanya menuntut tujuh bulan penjara. Hal ini tentu jauh lebih ringan dibanding dengan Undang Undang Perlindungan Anak yang ancamannya di atas 5 tahun penjara.
Kapuspenkum Ketut Sumedana SH sudah menjelaskan hasil eksamninasi kepada publik.
“Ditemukan bahwa Jaksa Penuntut Umum yang menangani perkara dan pejabat struktural di Kejaksaan Negeri Lahat tidak melakukan penelitian terhadap kelengkapan syarat formil dan kelengkapan syarat materiil,” kata Ketut Sumedana dalam keterangan tertulisnya dikutip pada Senin, 9 Januari 2023.
Penjelasan lain Ketut menyampaikan bahwa Pejabat yang menangani perkara dimaksud (Jaksa Penuntut Umum dan Pejabat Struktural) sudah diambil tindakan berupa penonaktifan sementara dari jabatan struktural ke Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan berdasarkan Surat Perintah Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan untuk mempermudah pemeriksaan kepada yang bersangkutan.
Jika kita simak lebih jauh sebenarnya sangat aneh jika ada kejadian bahwa Jaksa PU tidak profesional dalam meneliti berkas Perkara (BAP), sebab syarat utama berkas bisa dinyatakan lengkap haruslah terlebih memenuhi syarat formil material terpenuhi.
Arti kata disini bisa ada kemungkinan jaksa melemahkan pembuktian perkara sejak awal menerima berkas dan hingga penyerahan barang bukti dan tersangka.
Tuntutan pidana adalah ‘mahkota jaksa’ yang harus di jaga marwahnya bukan untuk diperdagangkan.
Kasus di Lahat ini menunjukkan fakta bahwa masih ada ada saja jaksa yang bekerja tidak menerapkan penegakan hukum yang humanis dan berhati nurani.
Saya ingin menyoroti tuntutan yang dikenal sebagai ‘mahkota jaksa’ tadi. Saya pikir tuntutan itu berjenjang dan ada SOP yang dijalankan yakni Jaksa PU hanya mengajukan rentut.
Rentut itu naiknya berjenjang sampai puncak pimpinan apalagi untuk perkara pekating (perkara penting) bahkan misalnya perkata tertentu terkait warga asing dan perkara lainnya misalnya itu rentutnya sampai ke meja Jaksa Agung.
Ingat kasus rentut yang pernah heboh. Melibatkan mantan Aspidsus Jawa Tengah Kusnin beberapa tahun lalu.
Akhirnya ditangkap dan diadili karena bermain rentut. Jadi tidak elegan jika hanya mencaci JPU, karena toh masih ada penentu tuntutan ada ditingkat diatasnya.
Bagi saya perkara kejahatan seksual ini telah menorehkan bahwa pengangkatan pimpinan Kajari harus menjadi pertimbangan yang matang.
Rumor negatif yang disuarakan ini jangan dibiarkan berlarut harus diusut, kita harapkan bidang Pengawasan jangan menjadi ‘alat pemadam kebakaran sesaat kemudian mati’.
Tetapi harus dilakukan menyeluruh kepada semua jajaran yang terlibat.
Point pertamaa saya disini,karena ini soal mahkota jaksa maka tidak boleh main main jaksa Agung selayaknya tidak mendiamkan lama lama dalam pemeriksaan oknum jaksa tersebut.
Kemudian kedepan penempatan atau pengangkatan seorang Kajari dan jaksa dengan jabatan itu haruslah benar benar memperhatikan kemampuan yang senior dari seorang Kajari.
Poin kedua hemat saya dengan adanya dua peristiwa ini Kejaksaan perlulah mempertajam lagi IPKJ (instrumen penilaian kinerja jaksa).
Dalam IPKJ, seorang jaksa diobservasi dan juga dia mengobservasi dirinya sendiri. Artinya untuk menentukan sejauh mana mana kemampuan seorang jaksa di dalam mengemban tugas dan jabatannya.
Selain itu profile assessment terhadap calon-calon kepala kejaksaa negeri jangan lah ada KKN.
Walaupun kita tahu Pengawasan juga memiliki rekam jejak jaksa nakal selama menjadi pegawai.
Lihat data yang dirilis tahun 2022 jaksa yang dikenai sanksi hukuman jauh menurun hanya 25 orang diantara dua terkait dugaan suap. Sementara tahun 2021 sebelumnya ada 68 orang jaksa dikenai sanksi tindakan hukuman disipin berat dan ringan.
Hanya kadangkala kala kita melihat sistem pengawasan di daerah itu seperti ‘antara ada dan tiada’.
Seperti tidak berfungsi sebagai satu lembaga pengawasan. Karena seingkali kejadian dan berulang kali kejadian serupa.
Sementara Pengawasan internal itu terbagi menjadi dua, yakni pengawasan melekat (waskat) dan pengawasan fungsional (wasnal). Inilah kadang berjalan tidak efektif.
Padahal kita tahu Reformasi ketentuan-ketentuan yang ada di pengawasan, yang sudah berhasil dengan lahirnya enam peraturan Jaksa Agung pada Hari Bhakti Adhyaksa di tahun 2007 diluncurkan.
Setelah itu, ditindaklanjuti dengan action plan, antara lain dengan tahap implementasinya, namun belum maksimal berjalan.
Kemudian sekarang ada Satgas 53 dengan Tim SDO nya ditambah lagi ada Komisi Kejaksaa dan PJI. Tetapi masih ada prilaku jaksa tidak terpuji.
Terlalu berani kalau sampai terjadi berulang kembali itu namanya waskat Tumpul. (harisfadillah/ahli Pers Dewan Pers/mantan Pengurus PWI Pusat-Penasehat Forwaka)